Bayangan itu Nyata (Bagian 1)

Bayangan itu Nyata
(Part 1)
Oleh: Sunarti
#Cerbung, LenSaMediaNews.com –
Pagi buta, sesosok perempuan berkerudung kelabu dan berjilbab biru tua, tampak menyusuri lorong stasiun kereta api. Sebentar menunggu di ruang tunggu, sebuah kereta dengan hanya beberapa gerbong datang. Sesosok perempuan itu, bergegas menuju pintu masuk kereta tersebut bersama beberapa orang lain di sebelahnya.
Kisaran satu jam, rupanya tujuan perempuan tersebut telah sampai. Perempuan jelang lima puluh tahun itu, tampak masih lincah turun dari kereta menuju lorong keluar stasiun. Beberapa saat, langkahnya terhenti melihat tulisan penunjuk arah di depannya. Lalu perlahan menepi, untuk selanjutnya membuka tas ransel yang tergantung di sebelah pundaknya. Secarik kertas dikeluarkan dan diamatinya. Tak berselang lama, laki-laki muda berseragam satpam mendekat.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya si satpam dengan wajah ramah.
“Oh ini Mas, saya mau mencari alamat ini,” jawab perempuan tersebut.
Dengan ramah, Satpam menunjukkan arah yang harus dituju oleh si perempuan.
“Menuju jalan ini, saya musti naik apa, Mas?” tanya Perempuan.
“Oh, tidak perlu, Bu. Cukup jalan kaki, tidak sampai lima ratus meter kok, Bu. Ibu nanti keluar pintu stasiun ini, kemudian ke arah kanan. Ada ruko di sana, ibu lewat depan ruko. Setelah sekitar seratusan meter, ada gang belok kanan, Bu. Dari gang itu belok kanan lagi, terus ketemu jalan yang ibu tuju. Baru ibu nanti cari alamat rumah ini,” jelas Satpam panjang lebar.
“Oh iya, terima kasih banyak,” jawab perempuan itu, sembari sedikit membungkukkan badannya sebagai tanda terima kasih, serta pamit.
Perempuan itu, segera bergegas menuju arah yang ditunjukkan oleh Satpam. Langkah lincahnya membuat sosok itu sampai depan ruko.
“Dompet.” Si perempuan spontan memungut dompet hitam di ujung ruko. Dengan percaya diri, dia memberikan dompet itu pada pemilik toko yang sedang mengelap dagangannya.
“Bu, ini saya menemukan dompet di bawah sini. Barangkali nanti ada yang mencari, Bu. Monggo biar dibawa ibu saja, siapa tahu orang yang kehilangan nanti mencari ke sini. Saya mau pergi soalnya,” kata perempuan itu dengan ramah, kepada pemilik toko yang seumuran dengannya.
“Copeeeeettt …!”
Sontak perempuan tersebut menatap heran ke arah pemilik toko. Dirinya bingung, dengan teriakan ibu-ibu gemuk ber-daster di depannya.
“Copet, copet …!” Teriakan si ibu pemilik toko terus-terusan.
Sosok-sosok perempuan, mulai mendekat pada Perempuan yang bengong memegang dompet hitam. Dirinya menoleh ke arah orang-orang yang mulai mendekatinya.
Prakkkk …!” Pukulan mengenai punggungnya.
Perempuan itu bertambah heran.
“Copet, copet …!” Suara di sekelilingnya, membuat dia bertambah heran.
Pukulan sapu lidi, gagang sapu lantai mulai mendarat di tubuh perempuan berjilbab biru itu. Tangan kanannya masih terus menggenggam dompet. Dia berusaha melindungi kepalanya dari pukulan orang-orang. Rasa heran masih menyadarkan dirinya, dan dia berupaya untuk sedikit menghindar.
“Bruk …!” Sayangnya, tubuh perempuan itu limbung.
Seiring langkah kaki kanannya terpeleset cairan di lantai, yang entah sejak kapan berceceran di bawah kakinya. Sementara pukulan demi pukulan terus mendarat di tubuhnya.
“Auh … Astagfirullah,” lirih suara perempuan itu mengaduh.
Darah mengalir di balik kaos kaki panjangnya. Betisnya tergores keramik yang tajam, dari pinggiran lantai dari dua tangga di depan toko. Tangan kanan dan kiri, berusaha mengangkat kakinya yang terpeleset hingga perlindungan pada kepalanya lepas. Namun naas, pukulan seorang bapak yang tepat di pelipis kanan, membuat luka robek yang cukup lebar. Bekas pengeruk sampah dari bahan seng, telah mengenai pelipis si perempuan.
Tetes air mata tak kuasa dia tahan. Buliran bening susul menyusul layaknya hujan yang mulai deras. Dia tak lagi mengindahkan darah dan perih di kakinya. Tangan kanan perempuan itu, mengusap pelipis yang sudah terkoyak. Spontan mendongak ke arah bapak yang memukulinya.
“Astagfirullah. Salah saya apa?” lirih dia berucap.
“Copet perempuan. Dasar jalang, tak tau malu. Udah rapat tubuhnya, ternyata tidak sesuai perilakunya. Jangan-jangan dijual pula tubuhnya. Dasar copet,” si bapak mengomel, sambil tangannya tak henti memukul punggung Perempuan.
Entah sudah ke berapa kali pukulan yang terus mendarat itu. Perempuan itu sesenggukan, tak kuasa menahan segala yang terjadi sesaat dan tanpa disadari itu. Dirinya baru menyadari setelah omelan si bapak. “Sakit.” Sakit bukan dari pukulan-pukulan itu, tapi dari tuduhan itu. “Astagfirullah.”
“Copet. Bukan saya, Pak, bukan,” kata Perempuan lirih, hampir tak didengar siapapun.
“Cukup! Hentikan!” Samar bayangan sosok lelaki menghampiri.
Bersambung …