Pengembalian Catchment Area, Mengapa Baru Sekarang?

Oleh: Mutual Isfahani
LenSaMediaNews.com_Catchment area adalah daerah tangkapan hujan yang dibatasi oleh titik elevasi tertinggi di mana air hujan mengalir ke sungai. Ukuran dan bentuk daerah tangkapan mempengaruhi debit air permukaan, sementara topografi, kerapatan saluran drainase, dan tata guna lahan mempengaruhi koefisien aliran permukaan. Seberpengaruh itulah jika pembangunan tak memikirkan dampak dari lingkungan. Setelah dampak lingkungan mulai dirasakan barulah penyegelan beberapa titik diupayakan.
Dampak lingkungan seperti tanah longsor dan banjir tak akan bisa dihindari jika kita tidak bisa menjaga lingkungan. Pepatah bilang lebih baik mencegah daripada mengobati, namun rasa-rasanya dibalik. Lebih baik mengobati dari pada mencegah. Fakta yang terjadi di lapangan, Gunung Geulis Country Club, Summarecon Bogor, dan Bobocabin Gunung Mas Puncak, disegel oleh pemerintah (Kompas.com, 13-3-2025).
Papan peringatan bertuliskan: “Area ini dalam pengawasan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup,” dipasang di tiga lokasi di kawasan Sentul-Ciawi, Bogor. Dikutip dari siaran pers Kemenko Bidang Pangan, Gunung Geulis Country Club, Summarecon Bogor, dan Bobocabin Gunung Mas Puncak, disinyalir menimbulkan pencemaran serta perusakan lingkungan yang cukup serius. Adapun Gunung Geulis Country Club, Ciawi, Bogor, dipasangi papan peringatan karena tidak memiliki Persetujuan Teknis TPS Limbah B3 dan terdapat tumpukan sampah di sekitar TPS.
Pertanyaan besar saat ini kenapa baru sekarang penyegelan itu terjadi, padahal Bobocabin itu sudah beroperasi pada tahun 2022. Artinya pembangunan dan pengurusan izin dilakukan sebelum itu. Tampaknya pemerintah setempat juga abai dengan hal ini. Karena banyak area terlarang malah menjadi ladang cuan untuk korporasi.
Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi –termasuk tanah– hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT: ”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (TQS. An-Nuur [24]: 42). Ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah SWT semata. (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-‘Ammah fil Islam, hal. 19).
Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT: ”Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (TQS. Al-Hadid [57]: 7). Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, “ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I hal. 130).
Untuk mengelola tanah dalam Islam pun sudah ada petunjuknya. Islam sangat mengatur bagaimana seharusnya pengelolaan lahan. Yaitu, tanah harus dikelola secara produktif, kepemilikan tanah harus adil dan sejalan dengan tanggung jawab sosial.
Tanah pun harus dikelola untuk kemakmuran dan kesejahteraan bersama, lalu dibudidayakan untuk sebesar-besar kemakmuran umat manusia, tanah tidak boleh dirusak. Tanah harus dijaga kesuburannya dan digunakan sesuai kondisi lingkungan hidup. Jika tidak mengikuti aturan yang Allah berikan maka tunggulah bencana yang akan datang. [LM/Ss]