Memilih Pemimpin dalam Islam

Oleh : Rizki Rahmayani, S.E
Lensa Media News – Memasuki tahun 2024, Indonesia akan menggelar pesta demokrasi yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Seruan politik dan berbagai atributnya ramai dikampanyekan setiap pasangan calon baik presiden maupun calon legislatif. Masyarakat berharap pemilihan umum mampu memberi harapan yang lebih baik untuk Indonesia. Janji-janji manis calon pemimpin seakan menjadi angin segar yang membuat masyarakat percaya akan ada perubahan dan kemajuan jika sosok pilihannya menjabat kelak.
Kontestasi demokrasi ini masih saja membuat rakyat optimis, seakan lupa bahwa suara rakyat seringkali hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politisi mendapatkan jabatan. Sejak pertama kali digelar pada tahun 1955, Indonesia telah dua belas kali melaksanakan pemilihan umum. Namun seberapa signifikan perubahan nyata yang dilakukan para pemimpin dan wakil rakyat ? Berdasarkan data BPS pada maret 2023, jumlah penduduk miskin di Indonesia sekitar 25,9 juta jiwa. Belum lagi permasalahan korupsi yang tak pernah tuntas dan rendahnya jaminan kesehatan dan pendidikan bagi rakyat, semua itu menjadi bukti bahwa janji-janji politisi hanyalah ilusi yang tak pernah terealisasi.
Fakta diatas harusnya membuat masyarakat jeli dalam memilih pemimpin. Tak gampang termakan rayuan dan amplop tebal para politisi, sebab suara mereka terlalu murah untuk digadaikan dengan lembaran rupiah. Jika permulaannya saja tak jujur bagaimana mungkin kita berhusnuzhan bahwa mereka kelak akan melahirkan kebijakan yang baik dan berlaku jujur kepada rakyatnya ?
Memilih Pemimpin dalam Islam
Islam sebagai petunjuk hidup manusia telah memiliki panduan yang jelas dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam hal bernegara dan memilih pemimpin. Hal pertama yang harus kita luruskan adalah, memilih pemimpin bukan sekedar figuritas yang berwibawa dan cerdas, namun mereka yang taqwa kepada Allah dan mau menerapkan Al-Qur’an dan sunnah dalam memimpin negara. Sebab, islam menyamakan kedudukan pemimpin dengan imam di dalam shalat, bahwasanya kita memilih imam dalam shalat bukan sekedar siapa orangnya, seberapa merdu suaranya namun berkaitan dengan kefahamannya dalam melaksanakan ibadah shalat. Ia yang mengetahui arah kiblat, fasih Membaca Al-Qur’an serta memahami fiqh shalat dengan sempurna. Artinya, pemimpin dalam Islam tidak sekedar soal kapasitasnya sebagai kepala negara namun berkaitan dengan apa yang akan ia jadikan rujukan hukum saat memimpin rakyatnya. Islam mewajibkan kita beriman tidak hanya tentang shalat dan puasa melainkan melaksanakan seluruh aturan kehidupan berdasarkan syariat-Nya dalam ranah individu, masyarakat dan bernegara dan hal tersebut tidak mungkin terlaksana dalam sistem demokrasi yang mengabaikan Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan menjadikan anggota legislatif sebagai pembuat hukum.
Tugas kita bukan hanya memilih pemimpin yang baik, namun menyadarkan masyarakat bahwa kita butuh sistem bernegara yang baik, dimana Al-Qur’an dan sunnah menjadi rujukan hukumnya. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-A’raf ayat 96 yang berbunyi :
“ Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya kami akan membukakan bagi mereka keberkahan dari langit dan bumi … “
Wallahu a’lam bishawab.
[LM/nr]