Guru Sayang, Guruku Malang

20241028_061318

Oleh : Ummu Zhafran

Pegiat Literasi

 

LenSa Media News–Malang nian nasib Ibu guru Supriyani. Sehari-hari beliau menjalankan tugas sebagai tenaga pengajar honorer di sekolah dasar. Pastinya tak sekali pun ia bermimpi bakal menjalani proses hukum di pengadilan. Namun apa hendak dikata, justru hal itulah yang kini terjadi.

 

Bermula saat sang guru dituduh menganiaya siswanya berinisial D (6), yang merupakan anak dari anggota Polsek Baito. Selang beberapa bulan tanpa sepengetahuan tertuduh, kasus tersebut terus bergulir hingga dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke kejaksaan.

 

Kasus tersebut pun viral di media sosial usai pihak kejaksaan melakukan penahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kendari, untuk selanjutnya menempuh proses persidangan (antarasultra.news, 23-10-2024).

 

Publik pun meradang. Protes dan kecaman seolah mengalir dari seluruh penjuru negeri. Mayoritas tentu berpihak pada sang guru. Sebab dari sudut pandang masyarakat, tak ada alasan kasus semacam ini bisa sampai ke ruang sidang. Lebay, istilahnya, meminjam kosa kata anak zaman sekarang.

 

Opini publik di atas tentu tak bisa dipandang sebelah mata. Mengingat bahwa profil guru, tanpa membedakan status honor atau pun bukan, selamanya adalah pahlawan tanpa tanda jasa.

 

Dalam Islam, agama yang mayoritas dianut di negeri ini bahkan dunia, guru menempati posisi terhormat dan mulia. Adab terhadap guru menentukan sampai dan berkahnya ilmu pada murid yang diajarkan.

 

Firman Allah Swt., dalam penggalan ayat berikut,“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(TQS Al Mujadilah:11).

 

Ketika menjelaskan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir mengaitkannya dengan keutamaan menuntut ilmu dan ketinggian derajat yang diberikan Allah kepada orang yang berilmu berikut balasan pahalanya di dunia dan akhirat (Tafsir Imam Ibnu Katsir).

 

Kemuliaan seorang guru yang mengajar dan mendidik juga bisa disimak dari perkataan Imam ‘Ali ibn Abi Thalib ra., yang menyatakan ia adalah hamba atau budak bagi siapa pun yang mengajarkan ilmu kepadanya, walau hanya satu huruf (Ihya Ulumuddin, Imam Al Ghazali).

 

Lalu mengapa kini semua hal di atas seolah mulai terlupakan? Guru mulai kehilangan martabat dan wibawanya di mata para siswa. Dengan semakin maraknya proses hukum yang menjerat guru, bukan mustahil guru pun gamang menjalankan amanahnya sebagai pengajar sekaligus pendidik. Bila sudah demikian, lalu bagaimana nasib generasi yang juga aset masa depan bangsa?

 

Tetapi penting untuk dicamkan bahwa hal tersebut tak sepenuhnya salah siswa, orang tua maupun guru. Andil perangkat hukum yang berlaku tak bisa dipungkiri juga cukup besar. Dapat terlihat dari produk hukum yang siap menjerat, tanpa melihat lagi konteks hukuman untuk mendidik yang dilakukan guru. Tanpa ragu tertuduh bahkan dikenakan pasal berlapis terkait kekerasan terhadap anak di bawah umur (antaranews, 24-10-2024).

 

Miris. Wajah dunia pendidikan kembali tercoreng. Sukar dibantah bila ini merupakan buah dari penerapan aturan yang lahir dari rahim sekularisme. Tampak jelas sistem pendidikan hari ini kental dengan nilai-nilai sekuler yang memisahkan aturan agama dari kehidupan. Bahkan meski telah berkali-kali kurikulum berganti, namun potret generasi unggul yang diharapkan masih jauh dari kenyataan.

 

Hal ini karena meski kurikulum terus berganti, landasan rujukan pembuatannya adalah sama, yakni sekularisme. Melalui kurikulum sekuler, generasi dicekoki dengan sistem pembelajaran yang jauh dari wahyu Sang Pencipta. Akibatnya, adab semakin ditinggalkan, ilmu diremehkan dan syariah dikerat sebatas urusan pribadi.

 

Tiada pilihan lain, satu-satunya cara memperbaiki kegagalan sistem pendidikan hari ini ialah dengan mengadopsi sistem pendidikan Islam dalam bingkai penerapan syariah yang kafah oleh Khalifah. Kembali menempuh jalan yang telah dirintis Khulafaurrasyidin, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affam dan Ali bin Abi Thalib. ra. Sehingga dalam penyelenggaraan pendidikan tidaklah dikelola melainkan berdasarkan akidah dan tunduk pada syariah Islam yang Rahmatan lil alamin.

 

Islam menetapkan sekolah adalah hak bagi setiap anak, baik mereka yang berasal dari keluarga miskin atau kaya, muslim maupun non muslim. Negara diwajibkan menjamin terpenuhinya hak setiap anak sebab pendidikan dalam Islam termasuk salah satu kebutuhan dasar bagi publik. Termasuk tugas negara pula menjamin tersedianya tenaga pengajar dan administratif sekolah dan memberikan kompensasi maksimal terhadap mereka.

 

Seperti yang berlaku di masa Khalifah Umar bin Khattab ra, yang menggaji guru masing-masing 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas), kurang lebih setara dengan Rp.60.000.000,00. Tak lagi dibedakan status guru tersebut ASN, PPPK atau honorer, baik telah sertifikasi maupun belum. Tidakkah Anda merindu hidup di bawah naungan Islam? Yuk, belajar Islam! Wallahua’lam. [LM/ry].