Cukai dan PPN bukan Solusi Diabetes

Hari Pajak Instagram Post_20241218_122649_0000

Oleh: Dias Paramita

 

LenSa Media News _ Opini_Diabetes atau kencing manis atau gula darah tinggi sering disebut silent killer, merupakan penyakit ke-7 yang menyebabkan kematian terbanyak di dunia. International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan bahwa di tahun 2019 terdapat 463 juta kasus dan diperkirakan akan mencapai 578 juta di tahun 2030, terus meningkat hingga 700 juta di tahun 2045 (kompaspedia.kompas.id, 14/11/2024).

Indonesia menjadikan diabetes sebagai prioritas ke-3 dalam penanganan penyakit tidak menular (PTM). Hal tersebut didasari berdasarkan survei IDF tahun 2021 pada usia dewasa (20-79 tahun) tercatat 19,5 juta kasus dengan peringkat ke-5 dunia dan menduduki posisi pertama di ASEAN (Kompaspedia.kompas.id, 14/11/2024).

Faktanya, kini diabetes juga menyebar ke anak hingga remaja awal, mayoritas usia 10-14 tahun dengan 46% kasus. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan bahwa per Januari 2023 kasus diabetes pada anak meningkat 70x lipat dibandingkan 2010, yaitu 1.645 kasus (BBC.com, 6/2/2023).

Lantas, apa yang Menyebabkan Kondisi Tersebut?

Kurangnya edukasi dan informasi terkait makanan thoyyibd i masyarakat menjadi salah satu penyebabnya. Bahkan, prinsip makan saat ini adalah “yang penting makan” dan “murah”. Mereka kurang peka bahwa kebiasaan konsumsi junk food atau minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) memiliki efek sangat buruk bagi kesehatan organ tubuh. Berdasarkan fakta Laporan Center For Indonesia Strategic Development Iniatitives (CISDI), konsumsi MBDK mencapai 780 juta liter di tahun 2014, sehingga di tahun 2020 menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-3 konsumsi terbanyak di ASEAN (Mediakeuangan.kemenkeu.go.id, 17-9-2024).

Gen Z mengalami penjajahan 7F (Fun, Food, Fashion, Film, Friction, Free Thinking, and Free Sex). Menurut Laporan Jajak Pendapat 2024, 75% gen Z yang telah bekerja mengalokasikan pengeluaran utama mereka untuk kulineran, baik secara offline maupun melalui aplikasi (Data.goodstats.id, 12-8-2024). Mereka tidak peduli dengan harganya yang relatif mahal, karena baginya, bentuk self reward yaitu dengan makanan.

Kapitalisasi dan liberalisasi perilaku makan. Banyaknya trend cafe yang menyediakan berbagai menu baru menjadikan gen Z ingin mengapresiasi dirinya dengan makanan atau hanya FOMO.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah mengusung dua poin utama yaitu:

Pertama, penerapan cukai MBDK untuk menaikan harga jual eceran sehingga harapannya dapat menurunkan daya beli masyarakat. Namun realitanya, menurut survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) 2023, >56% anak Indonesia hampir setiap hari konsumsi MBDK dalam seminggu (kompas.id, 11/12/2023). Hal tersebut terjadi ternyata bukan hanya karena persoalan harga, melainkan faktor akses yang mudah, termasuk di warung kelontong.

Kedua, regulasi tarif PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025 untuk meningkatkan penerimaan negara agar mampu mendanai proyek, salah satunya di bidang kesehatan (antaranews.com, 16/11/2024). Akan tetapi, di tengah keadaan ekonomi yang sulit seperti sempitnya lapangan pekerjaan, menurunnya pendapatan, kenaikan harga kebutuhan pokok, kenaikan PPN justru semakin menambah beban masyarakat. Belum lagi masyarakat harus membayar pajak rumah dan kendaraan setiap tahunnya.

Jadi, masih yakin upaya tersebut dapat menurunkan kasus diabetes? Jika solusi yang ditawarkan tidak menyelesaikan masalah dasar, maka seberapa bagus program tersebut tidak akan mencapai keberhasilan. Lantas, apa yang sebenarnya menjadi masalah dasarnya? Kesalahan sistem.

Islam sebagai agama dan ideologi dapat memberikan solusi secara tuntas problem diabetes dengan langkah sebagai berikut:

Pertama, mengikuti perintah Sang Pencipta untuk tidak berlebihan dalam hal apapun (makan dan minum). “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (Al- A’raf: 31).

Meneladani perilaku makan Rasulullah dan para ulama. Makanlah saat lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Imam Asy-Syafi’i menjelaskan, “Karena kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah”.

Cendekiawan muslim berlomba menemukan dan mengelola makanan bergizi tinggi. Dalam buku The Book of Roger, tahun 1154 orang Arab bernama Idrisi sebelum perjalan ke Marco Polo, Italia menemukan pasta dari gandum yang kaya serat dan protein sehingga dapat memperlambat pengosongan lambung (awet kenyang).

Negara Islam mengawasi regulasi makanan oleh Qadi Hisbah (petugas negara yang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar) di pasar seluruh negeri untuk mengontrol perilaku industri.

Jadi, pahami apa yang diperintahkan Sang Pencipta, teladani apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, serta jadilah agen perubahan yang menyebarkan ilmu kepada masyarakat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mentaati ku akan masuk surga, barangsiapa yang tidak mentaati ku sungguh dia orang yang enggan masuk surga” (HR. Bukhari).

(LM/SN)