Pajak dalam Sistem Kapitalisme, Gagal Menyejahterakan Rakyat

Pajak_20250108_174920_0000

Oleh: Bunda Erma

Pemerhati Umat

 

LenSaMediaNews.com__Rencana awal Pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada tanggal 1 Januari 2025 akhirnya tertunda. Pasalnya, sejumlah elemen masyarakat beramai-ramai menolak kenaikan tarif PPN 12%, baik dalam bentuk aksi di jalan, penandatangan petisi, maupun gerakan sosial media.

 

Dikutip dari kompas.com (27-12-2024), penolakan kenaikan PPN 12% dilakukan oleh kalangan mahasiswa. Aliansi mahasiswa yang tergabung dalam BEM Seluruh Indonesia (SI) menggelar aksi unjuk rasa menolak kebijakan PPN 12% di samping Patung Arjuna Wijaya, Gambir, Jakarta Pusat.

 

Penolakan terhadap kenaikan PPN 12% juga datang dari masyarakat. Sebanyak 197.753 orang telah meneken petisi menolak kenaikan PPN menjadi 12%. Jumlah tersebut merupakan data yang masuk hingga Sabtu (28/12), pukul 13.00 WIB (cnnindonesia.com, 28-12-2024).

 

Meski pemerintah telah mengklaim, bahwa kenaikan PPN 12% hanya berlaku bagi barang-barang mewah saja dan tidak akan berpengaruh pada rakyat kelas menengah ke bawah, akan tetapi kenaikan PPN 11% sebelumnya telah membawa trauma besar bagi rakyat. Oleh karena itu rakyat pun meyakini bahwa klaim itu hanya omong kosong belaka.

 

Pajak merupakan sumber pemasukan utama negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Karena itu pajak adalah satu keniscayaan, demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak. Padahal ketika pajak menjadi sumber pendapatan negara, maka hakekatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya, akan berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat. Negara justru abai menjamin kesejahteraan rakyatnya.

 

Ciri khas negara yang menerapkan sistem kapitalisme hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, bukan pengurus rakyat. Mirisnya, regulasi yang dikeluarkan penguasa justru tampak melayani kepentingan para pemilik modal, sebagaimana dalam persoalan pajak.

 

Meski ada kenaikan pajak pada barang mewah, negara masih terus memberikan keringanan atau pengampunan pajak (tax amnesty) pada para pengusaha. Agar investasi pengusaha bermodal besar tetap terjaga bahkan meningkat, merupakan alasannya. Asumsinya, investasi akan membuka lapangan kerja dan bermanfaat untuk rakyat. Padahal faktanya tidak demikian.

 

Inilah watak penguasa dalam sistem demokrasi kapitalis. Di mana penguasa tidak menjadi wakil rakyat yang akan menjalankan amanah pemerintahan untuk mengurus rakyat dan memperhatikan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, siapapun penguasa terpilih dan bagaimanapun figurnya, ketika mereka berkuasa tetap dan harus menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang terbukti membawa kesengsaraan bagi rakyat.

 

Berbeda dengan kepemimpinan Islam. Syaikh Taqiyyudin an-Nabhani, dalam kitabnya Syaksiyah Al-islamiyah juz 2 hal 161, menuliskan bahwa Islam telah memerintahkan kepada penguasa atau pemimpin untuk memperhatikan rakyatnya, memberikan nasehat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikitpun harta kekayaan milik umum, serta mewajibkannya memerintah rakyat hanya dengan Islam, tanpa yang lain.

 

Konteks tidak menyentuh harta milik umum, memiliki makna bahwa negara wajib mengelola harta milik umum yaitu sumber daya alam (SDA) dan tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta apapun alasannya termasuk alasan investasi. Hasil pengelolaan harta milik umum ini wajib dikembalikan negara kepada rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan dan jihad fi sabilillah. Seperti membangun berbagai fasilitas publik dan pelayanan yang akan memudahkan urusan rakyat.

 

Selain itu tidak menyentuh harta milik umum juga dimaknai bahwa pemasukan dan pengeluaran negara yang ditetapkan dalam aturan Islam tidak berbasis pajak dan utang. Artinya, pajak tidak menjadi sumber pemasukan utama negara dalam sistem ekonomi Islam. Tidak ada beban wajib pajak bagi kaum muslim.

 

Islam telah menetapkan bahwa sumber utama pemasukan negara ada tiga jenis, yakni harta milik negara, harta milik umum, dan harta zakat. Syariat juga telah menetapkan sumber pendapatan yang banyak dan beragam ini beserta pos pengeluarannya. Semua bermuara untuk kesejahteraan rakyat dan dakwah Islam. Islam memandang pajak sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara, itu pun hanya dalam kondisi dan kalangan tertentu.

 

Negara yang menerapkan sistem Islam akan menerapkan aturan syariat tentang pajak dan seluruh aturan Islam dengan dorongan takwa. Kebijakan khalifah akan jauh dari kezaliman apalagi untuk kepentingan segelintir orang. Sebab lahirnya kebijakan hanya dari syariat Islam, bukan suara terbanyak. Dengan pengaturan sistem politik dan ekonomi Islam, khilafah akan mampu menjamin kesejahateraan rakyat individu per individu. [LM/Ss]