PPN Naik, Kesejahteraan Rakyat Kapan Naik ?

20250109_183633

Oleh : Anggi

 

LenSa Media News.com, Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen telah menjadi isu yang diperbincangkan masyarakat luas. Sejumlah lapisan masyarakat dari pengusaha, akademisi hingga buruh menolak kebijakan ini (cnbcindonesia.com, 25-11-2024).

 

Kebijakan ini dinilai kontraproduktif, terutama karena dilaksanakan di tengah melemahnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, yang kerap menjadi tulang punggung ekonomi. Dalam situasi tersebut, banyak pihak mempertanyakan urgensi kebijakan ini dan dampaknya terhadap keseimbangan ekonomi (cnnindonesia.com, 28-12-2024).

 

Penyesuaian tarif ini sebenarnya tidak lepas dari amanat Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 terkait Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). UU ini memberi fleksibilitas tarif PPN antara 5 persen hingga 15 persen berdasarkan kondisi ekonomi dan kebutuhan pembangunan nasional.

 

Pemerintah berargumen bahwa kenaikan menjadi 12 persen adalah langkah strategis untuk menopang berbagai program pembangunan nasional. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa konsumsi rumah tangga, indikator utama daya beli masyarakat, justru melemah, dengan pertumbuhan yang turun dari 4,93 persen pada kuartal II menjadi 4,91 persen pada kuartal III tahun 2024 (kontan.co.id, 5-8-2024).

 

Keputusan ini juga tidak terlepas dari kebutuhan pendanaan negara. Pada tahun anggaran 2025, APBN ditargetkan memperoleh pendapatan hingga Rp2.490,9 triliun . 82,88 persen di antaranya berasal dari perpajakan. Sementara itu, belanja negara mencapai Rp3.621,3 triliun, (antaranews.com, 04-10-2024).

 

Dengan ketergantungan yang begitu tinggi pada pendapatan pajak, pemerintah tampaknya memilih untuk memperbesar penerimaan dibanding mencari opsi pendanaan lain.

 

Pajak, dalam sistem kapitalisme, merupakan sumber utama pendapatan negara. Melalui berbagai jenis pajak, negara memungut dana dari rakyat untuk membiayai kebutuhan layanan publik. Dalam sistem ini, negara lebih berperan sebagai fasilitator dan regulator bagi kepentingan para pemilik modal ketimbang sebagai pengurus rakyat. Akibatnya, rakyat kecil justru menjadi pihak yang paling terdampak oleh kebijakan pajak tanpa memandang kondisi mereka.

 

Mirisnya, pada saat yang sama, banyak kebijakan pajak yang memberikan keringanan atau insentif kepada pengusaha besar dengan dalih mendorong investasi. Retorika investasi yang akan membuka lapangan kerja seringkali tidak terwujud sebagaimana dijanjikan. Sebaliknya, beban pajak justru menggerus daya beli masyarakat dan memperlebar kesenjangan sosial.

 

Dalam pandangan Islam, pajak (dharibah) bukanlah sumber pendapatan utama negara. Pajak hanya diperbolehkan sebagai alternatif terakhir dan itu pun dalam kondisi tertentu, seperti ketika negara menghadapi krisis keuangan yang tidak dapat diatasi melalui sumber pendapatan lain. Selain itu, pajak hanya dibebankan kepada golongan yang mampu, bukan kepada rakyat kecil yang sudah kesulitan memenuhi kebutuhan pokok mereka.

 

Islam menawarkan sistem ekonomi yang jauh lebih adil dan berorientasi pada kesejahteraan individu per individu. Dalam sistem khilafah, negara memiliki sumber pendapatan yang beragam, seperti fai’, ghanimah, kharaj, dan zakat.

 

Pengelolaan sumber daya alam juga menjadi tanggung jawab negara, dengan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk fasilitas umum seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dalam sistem ini, negara tidak diperbolehkan menyentuh harta rakyat secara sembarangan.

 

Penguasa bertindak sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung), yang bertugas memastikan bahwa seluruh kebutuhan rakyat terpenuhi tanpa membebani mereka dengan pungutan yang tidak adil.

 

Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi atas berbagai persoalan, termasuk persoalan pajak, hanya dapat ditemukan dalam penerapan syariat Islam secara kafah di bawah naungan Khilafah. Hanya dengan cara inilah kesejahteraan sejati bagi seluruh rakyat dapat terwujud. Wallahualam bissawab. [LM/ry].