Kriteria Pemimpin dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah

Oleh Nadisah Khairiyah
Lensamedianews.com_
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (QS Al-Ma’idah : 8)
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dalam tafsir Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir (1) surat An-Nisa 135 bagian ayat yang sama dengan surat Al-Maidah ayat 8 di atas yaitu يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan.
Disebutkan dalam tafsir tersebut: “Yakni dengan berlaku adil dalam urusan-urusan yang mereka pegang dan yang berada di bawah tanggung jawab kalian seperti para istri dan anak. Ayat ini juga mencakup para hakim dan pemimpin.”
Dari ayat ini kita bisa melihat tuntunan yang Allah berikan kepada kita orang-orang yang beriman untuk menjadi penegak keadilan. Dan kita juga bisa melihat bahwa peran orang-orang beriman di dunia ada yang menjadi orangtua, anak, guru, hakim, pemimpin, pengusaha, dan lain-lain. Berlaku adil dalam KBBI artinya sama berat, tidak berat sebelah atau berpihak pada yang benar dan berpegang pada kebenaran. Jika kita mau mencari standar kebenaran, maka bagi orang beriman kebenaran adalah yang bersumber kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Maka pemimpin adalah seorang penegak kebenaran yang distandarkan kepada Al-Quran dan As-Sunnah.
Dalam hadits disampaikan pemimpin itu hakikatnya pengurus dan pelayan rakyat. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
فَاْلإِمَامُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR Al-Bukhari)
Pengurusan rakyat (ri’âyah) itu dilakukan dengan siyâsah (politik) yang benar, yaitu seperti yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim. Ri’âyah atau siyâsah yang baik itu tidak lain dengan menjalankan hukum-hukum syariah serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat. Inilah seharusnya yang dilakukan oleh seorang pemimpin yang amanah.
Pemimpin amanah akan menunaikan tugas ri’âyah, yakni memelihara semua urusan rakyatnya seperti: menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan bagi tiap individu warga negara); menjamin pemenuhan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara cuma-cuma; serta melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan ancaman, termasuk dari oligarki. Dalam memelihara urusan rakyat, penguasa hendaklah seperti pelayan terhadap tuannya. Sebabnya, “Sayyidu al-qawmi khâdimuhum (Pemimpin kaum itu laksana pelayan mereka).” (HR Abu Nu’aim)
Rasul ﷺ banyak memperingatkan penguasa dan pemimpin yang tidak amanah/khianat dan zalim. Mereka adalah pemimpin jahat (HR At-Tirmidzi)
Mereka adalah pemimpin yang dibenci oleh Allah ﷻ, dibenci oleh rakyat dan membenci rakyatnya (HR Muslim)
Mereka adalah pemimpin bodoh (imâratu as-sufahâ’), yakni pemimpin yang tidak menggunakan petunjuk Rasul ﷺ dan tidak mengikuti sunnah beliau (HR Ahmad).
Mereka adalah penguasa al-huthamah, yakni yang jahat dan tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya (HR Muslim).
Mereka adalah penguasa yang menipu (ghâsyin) rakyat (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Sifat pemimpin yang diharapkan Allah dan Rasul-Nya:
1. Kuat.
Disamping kuat fisik sebenarnya yang paling utama adalah kuat pola pikir Islamnya juga pola sikapnya. Semua menggunakan pola yang terdapat Al-Qur’an dan As-Sunnah
2. Takwa
Seperti yang dianjurkan dalam surat Al-Maidah ayat 8 juga ayat-ayat yang senada. Berlaku adil akan mendekatkan kepada ketakwaan
3. Lembut
Membuat rakyatnya tidak menjauh. Rakyat akan menumbuhkan ketaatan dengan rasa rida, rela dan bahagia.
Jika kita membaca bagaimana Rasulullaah ﷺ memimpin, maka kita bisa mendapatkan gambaran sifat kepemimpinan seperti yang disebutkan. Saat ini, saat kehidupan dikuasai oleh ide kapitalis atau sekuler, maka kepemimpinan yang muncul bukanlah kepemimpinan yang membuat negeri bahkan dunia mendapatkan kehidupan yang bahagia. Justru kehidupan sempit. Dan Allah ﷻ sudah mengingatkan kita dalam surat Thaha ayat 124:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.
Dapat kita saksikan dan rasakan kehidupan sempit saat ini berupa merebaknya ketidakadilan, krisis moral, mental yang sakit, dll. Realitas sulitnya gas, para nelayan yang kesulitan melaut karena laut yang dipagari, tambang yang menjadi milik umat dikuasai oleh oligarki adalah beberapa contoh kehidupan sempit yang terjadi saat ini.
Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita orang-orang beriman untuk segera kembali menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman dalam seluruh aspek kehidupan. Agar dunia ini segera terlepas dari ketidakadilan.
والله أعلم بالصواب
(1). Referensi : https://tafsirweb.com/1667-surat-an-nisa-ayat-135.html
