Kurikulum Cinta, Akankah Mewujudkan Cinta Hakiki?

Cinta-LenSaMedia

Oleh : Ummu Rifazi, M.Si

 

LenSaMediaNews.Com–Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) telah resmi diluncurkan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) di Asrama Haji Sudiang, Makassar pada Kamis 24 Juli 2025. Kelahiran KBC diklaim oleh Kemenag RI sebagai upaya pemerintah untuk menanggulangi fenomena makin merebaknya sikap intoleran, saling menyalahkan, bahkan saling membenci satu sama lain di kalangan pelajar yang dipicu oleh perbedaan keyakinan (agama).

 

Menurut Menteri Agama RI Nasarudin Umar, sikap yang ditunjukkan sebagian kalangan pelajar tersebut adalah akibat adanya teologi (ilmu ketuhanan) kebencian terhadap agama lain dalam pendidikan agama. Oleh karenanya dengan penerapan KBC, Beliau mengharapkan agar di dalam diri setiap peserta didik akan tertanam sikap cinta kasih, semangat moderasi, inklusif dan toleran terhadap keberagaman agama di Indonesia. Dengan KBC Beliau mengharapkan tidak ada lagi guru agama yang mengajarkan agamanya yang paling benar sementara agama lainnya sesat (republika.co.id, 26-07-2025).

 

Cinta Hakiki dalam Kerancuan, Mungkinkah?

 

Terlihat jelas bahwa gagasan moderasi beragama dan pluralisme adalah cara pandang yang melahirkan KBC. Sejatinya umat muslim harus sadar bahwa moderasi beragama atau moderasi Islam bukanlah hasil ijtihad ulama mu’tabar. Konsep tersebut merupakan hasil pemikiran sekuler liberalis Barat lewat berbagai proyek pengkajian berdana besar untuk mencari celah kelemahan muslimin dan menyusupkan berbagai konsep pemikiran mereka.

 

Islam moderat adalah cara pandang yang bisa menerima konsep pemikiran Barat seperti Demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), kesetaraan gender dan pluralisme (paham yang mengakui kebenaran setiap agama). Padahal pluralisme sebagaimana fatwa MUI tahun 2005 adalah haram, berdasarkan pada firman Allah ta’alaa dalam TQS Ali Imran ayat 19, yang artinya, “ Agama yang diridhai Allah ta’alaa hanyalah Islam”. Disini terlihat bahwa gagasan Islam Moderat mengandung keracuan alias pencampuradukkan antara konsep pemikiran yang haq (benar) dengan yang batil (salah).

 

Padahal Allah ta’alaa telah melarang pencampuradukan antara yang haq dengan yang batil. Sebagaimana firmanNya dalam TQS Al Baqarah ayat 42 yang artinya, “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”

 

Segala hal yang tercampur aduk niscaya menimbulkan kekacauan, perselisihan dan perpecahan sebagaimana yang terjadi saat ini. Alih-alih terwujud kerukunan dan ketenangan kehidupan bermasyarakat antar bergama, yang terjadi malah kecintaan dan kebencian dalam kesimpangsiuran hidup akibat jauh dari tuntunan Ilahi.

 

Yang salah menurut syariat Islam justru ditolerir dan bahkan tak jarang kemudian diendorse untuk dibiasakan dan dicintai sebagai bentuk kerukunan dan perdamaian, misalnya ketika merayakan hari besar suatu agama yang dihadiri oleh umat yang berbeda agama. Sedangkan menjalankan kebaikan menurut syariat Islam, justru dianggap radikalisme (melakukan perubahan secara drastis atau dengan kekerasan), dimusuhi dan dibenci, misalnya ketika mengajak masyarakat untuk menjalankan Syariat Islam secara kaffah (menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan) sebagaimana firman Allah dalam QS Al Baqarah ayat 208.

 

Cinta Hakiki Tumbuh Subur dalam Tuntunan Ilahi

 

Sebagai muslim, sudah seharusnya cinta dan benci senantiasa dikaitkan dengan keimanan terhadap Allah ta’alaa. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw. “Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas kepada Allah, dengan membenci dan mencintai (segala sesuatu) hanya karenaNya”(HR. Al Hakim).

 

Ketika Allah mensyariatkan sesuatu hal, sudah semestinya perintah Allah tersebut kita laksanakan sebagai wujud cinta kita kepada Allah yang juga mencintai hambaNya tanpa batas. Demikian juga sebaliknya, ketika Allah melarang sesuatu hal, sudah semestinya kita membenci kemaksiatan yang terjadi akibat pelanggaran terhadap laranganNya dan berusaha menjauhi serta meniadakannya.

 

Penerapan syariat Islam secara kafah berhasil mewujudkan kerukunan kehidupan beragama di masa kepemimpinan Nabi Muhammad saw. di Negara Islam pertama Madinah. Syariat Islam memberikan keleluasaan bagi warga non muslim untuk beribadah sesuai keyakinan mereka. Mereka dilindungi dan tidak pernah dipaksa untuk memeluk Islam. Mereka hanya diwajibkan membayar jizyah sebagai bentuk ketundukan  mereka kepada hukum Islam, sesuai dengan kemampuan finansialnya.

 

Kendati demikian, Syariat Islam tidak mengijinkan non muslim menyebarluaskan ajaran agamanya di tempat-tempat umum. Hal ini sebagaimana Sabda Nabi Muhammad saw. “Islam itu tinggi dan tidak ada yang bisa menandingi ketinggian Islam” (HR Ad-Daruquthni (III/181 no. 3564).

 

Aturan tersebut menjaga dan melindungi agama warga non muslim sekaligus menegaskan kedudukan Islam sebagai satu-satunya agama yang diridai Allah untuk mengatur kehidupan ini. Alhasil, dengan penerapan Islam kafah, cinta hakiki tumbuh subur dalam kehidupan yang rukun, tenang dan penuh keberkahan. Wallahu a’lam bisshowab. [LM/ry].