Nasib Tanah Telantar di Sistem Kapitalis vs Sistem Islam

Oleh Iffah Arda
LensaMediaNews.com, Opini_ Isu tanah telantar menimbulkan perdebatan setelah Pemerintah Indonesia menegaskan akan menertibkan lahan berskala besar yang dibiarkan tak tergarap. Berdasarkan PP No. 20 Tahun 2021, tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun sejak hak diberikan dapat dicabut status kepemilikannya dan dialihkan menjadi Tanah Cadangan Umum Negara.
Sekilas kebijakan ini tampak logis bahwa ini upaya yang memaksa rayat lebih produktif dengan tidak menelantarkan lahan. Namun, apakah lahan yang disita nantinya didistribusikan pada rakyat yang membutuhkan atau pada pihak yang memberi keuntungan?
Paradigma kepemilikan sistem saat ini menjadikan tanah sebagai hak privat yang hampir tanpa batasan. Selama kepemilikan legal menurut hukum positif, pemilik bebas menentukan nasib lahannya apakah digarap, disewakan, dijual, bahkan ditelantarkan. Sekali lagi selama tidak melanggar hukum formal. Tidak ada pembatasan luas kepemilikan; satu korporasi bisa menguasai ratusan ribu hektare jika mampu membelinya. Negara dalam sistem ini berperan sebagai regulator, bukan pengatur distribusi yang aktif.
Akibatnya, ketika tanah disita, orientasinya sering kali adalah optimalisasi ekonomi negara atau menarik investasi, bukan pemerataan manfaat. Maka pantas banyak pengamat yang mengkhawatirkan bahwa tanah sitaan bisa berakhir di tangan korporasi besar atau proyek komersial, bukan langsung ke petani kecil atau rakyat miskin.
Lain halnya dengan kacamata ekonomi Islam. Islam mengatur kepemilikan tanah secara tegas dan membaginya menjadi tiga kategori:
Pertama, kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah), yaitu hak yang sah diperoleh melalui mekanisme syar’i seperti warisan, hibah, pembelian, ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati), atau iqta’ (pemberian negara). Kepemilikan ini terikat dengan kewajiban memanfaatkan; jika tidak diurus atau dimanfaatkan maka negara berhak mencabutnya.
Kedua, kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘ammah), yaitu sumber daya yang digunakan secara bersama oleh masyarakat, seperti air, padang gembalaan, dan jalan umum. Rasulullah ﷺ bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah).
Berdasar hadis ini, ada jenis tanah atau lahan yang status kepemilikannya umum seperti hutan, tanah-tanah umum, jalan raya, dan lainnya. Tanah milik umum ini tidak boleh dimiliki oleh individu, akan tetapi tanah milk umum dapat dimanfaatkan oleh semua orang.
Ketiga, kepemilikan negara (al-milkiyyah ad-daulah), yaitu aset yang dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat, termasuk tanah yang disita dari orang yang menelantarkan.Tanah milik negara dapat diberikan pada individu tertentu. Tetapi negara dilarang untuk memberikan tanah itu kepada individu atau swasta tanpa batas. Negara mengelola tanah negara untuk peruntukan proyek strategis yang menaungi hajat hidup rakyat, tidak untuk dijual kepada korporat apalagi korporat demi mendapat keuntungan bagi segelintir pihak.
Dalam sistem Islam, tanah telantar tidak akan dibiarkan bertahun-tahun tanpa sanksi. Negara (khalifah) dapat segera mencabut hak pemiliknya begitu jelas terbukti tidak dihidupkan, sebagaimana dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ra. terhadap tanah iqta’ yang tak digarap. Tanah itu lalu diberikan kepada warga yang benar-benar membutuhkan dan bisa mengurus dengan baik, dengan aturan tidak boleh dijual sebelum benar-benar dikelola, ini untuk mencegah orang berspekulasi dan memastikan tanah tetap produktif.
Perbedaan orientasi inilah yang membuat nasib tanah telantar di kedua sistem sangat kontras. Dalam kapitalisme, penyitaan tanah lebih berorientasi pada optimalisasi aset negara dan bisa berujung pada re-monopoli. Dalam Islam, mengambil tanah telantar adalah cara untuk mengembalikan tanggung jawab Allah kepada hamba-Nya yang ingin dan sanggup mengurus tanah itu, agar kekayaan bisa terbagi rata, masyarakat bisa mandiri dalam menghasilkan makanan, dan hidup menjadi lebih makmur. Tanah bukan hanya angka di sertifikat atau benda yang bisa dijual beli, tetapi merupakan sumber kehidupan yang harus digunakan secara bijak.