Gaji dan Tunjangan Fantastis :  Wakil Rakyat Kaya Raya, Rakyat Merana

Gaji & Tunjangan Fantastis_20250902_202728_0000

Oleh : Nettyhera

(Pengamat Kebijakan Publik)

 

Lensa Media News – Wacana kenaikan gaji anggota DPR kembali menyeruak ke ruang publik (tempo, 22/8/25), menimbulkan gelombang kritik dan perdebatan hangat. Di tengah kondisi rakyat yang masih bergulat dengan harga kebutuhan pokok yang melambung, lapangan kerja yang semakin sulit, hingga akses pendidikan dan kesehatan yang belum merata, isu kenaikan gaji wakil rakyat justru muncul bagaikan ironi. Masyarakat mempertanyakan, pantaskah para legislator yang sudah bergelimang dengan berbagai fasilitas, tunjangan, dan fasilitas mewah masih meminta tambahan penghasilan? Apalagi di saat negara masih menghadapi beban utang yang kian menumpuk dan ekonomi rakyat kecil kian terhimpit, wacana ini terasa seperti luka baru yang ditorehkan di hati publik.

Kenyataan ini jelas menimbulkan jurang yang makin lebar antara penguasa dan rakyat. Ironis, saat sebagian besar masyarakat hanya bisa bergantung pada upah minimum. Gambaran UMP DKI Jakarta 2025 adalah Rp5.396.761 per bulan, dan rata-rata UMP nasional hanya sekitar Rp3,3 juta per bulan . Ini berarti pendapatan DPR bisa 20 hingga 28 kali lipat UMP, bahkan jauh lebih tinggi dari mereka yang bekerja keras di lapangan .

Lebih miris lagi, menurut data terbaru dari BPS yang dirilis bulan Juli 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2025 tercatat 23,85 juta jiwa, atau sekitar 8,47% dari total populasi. Kontrasnya kehidupan ini menimbulkan pertanyaan besar: untuk siapa sebenarnya para wakil rakyat itu bekerja? Apakah benar-benar untuk kepentingan rakyat, atau sekadar melanggengkan kepentingan diri dan partai?

Tak sedikit pengamat yang menilai bahwa pendapatan besar itu tidak sepadan dengan kinerja DPR yang kerap mengecewakan publik. Rakyat menyaksikan bahwa lembaga legislatif lebih sibuk melayani kepentingan partai dan oligarki politik daripada sungguh-sungguh memperjuangkan nasib rakyat banyak (BBC Indonesia, 19/8/2024).

Berdasarkan laporan media dan catatan FITRA, gaji pokok anggota DPR sekitar Rp4,62 juta per bulan, ditambah tunjangan istri/suami sebesar 10 persen (Rp462 ribu) dan tunjangan anak 2 persen per anak, maksimal dua anak (Rp184 ribu per anak) (Tempo, 17/8/2024). Komponen terbesar justru datang dari berbagai tunjangan: tunjangan jabatan Rp15,6 juta, tunjangan kehormatan Rp6,45 juta, tunjangan komunikasi intensif Rp16 juta, uang sidang paket Rp2 juta, bantuan listrik dan telepon Rp7,7 juta, tunjangan asisten Rp2,25 juta, dan tunjangan fungsi pengawasan serta anggaran Rp4,5 juta (Beritasatu, 15/8/2024). Tunjangan bensin dinaikkan menjadi Rp7 juta per bulan (Tempo, 17/8/2024), sementara tunjangan perumahan sebagai kompensasi rumah dinas mencapai Rp50 juta per bulan (Beritasatu, 15/8/2024). Total pendapatan resmi anggota DPR bisa mencapai Rp120–130 juta per bulan, jauh di atas rata-rata pekerja dan garis kemiskinan nasional.

Dalih kenaikan tunjangan seringkali dikaitkan dengan kebutuhan operasional dan mobilitas kerja, termasuk kunjungan ke daerah pemilihan yang memerlukan biaya besar. Penghapusan rumah dinas diganti tunjangan perumahan untuk efisiensi aset, menurut DPR (Beritasatu, 15/8/2024). Namun beban APBN tetap signifikan. Belanja DPR tahun 2025 tercatat sekitar Rp9,9 triliun (BBC Indonesia, 19/8/2024), dengan pos tunjangan mencapai Rp1,6 triliun untuk sekitar 580 anggota (Tempo, 17/8/2024). Sementara itu, rakyat menghadapi kondisi sulit; jumlah penduduk miskin per Maret 2025 tercatat 23,85 juta jiwa atau 8,47% dari total populasi (BPS, 2025), dan UMP DKI Jakarta 2025 hanya Rp5,396 juta per bulan. Jika dibandingkan, tunjangan perumahan DPR setara sembilan kali UMP, dan total pendapatan resmi DPR hampir 19 kali UMP, sementara tunjangan beras mereka jauh di atas garis kemiskinan nasional.

Kenaikan tunjangan DPR menunjukkan dengan jelas bagaimana para wakil rakyat lebih sibuk memperbesar kenyamanan mereka sendiri. Fenomena ini bukanlah hal baru. Dalam sistem demokrasi yang berakar pada kapitalisme, politik transaksional memang sudah menjadi hal lumrah. Segala sesuatu diukur dengan keuntungan materi, termasuk dalam menentukan anggaran. Ironisnya, besaran tunjangan itu justru diputuskan oleh mereka sendiri, bukan oleh rakyat yang katanya mereka wakili.

Alhasil, jabatan yang sejatinya adalah amanah justru berubah menjadi alat untuk memperkaya diri. Empati pada rakyat kian memudar. Alih-alih memikirkan beban hidup masyarakat yang kian berat, para legislator lebih sibuk memastikan kenyamanan hidup mereka tetap terjamin. Padahal, rakyat menitipkan suara dengan harapan ada perbaikan nasib. Namun, harapan itu pupus ketika yang diprioritaskan hanyalah kepentingan pribadi dan kelompok.

Hal ini memperlihatkan wajah asli dari demokrasi: sebuah sistem yang memberi ruang besar bagi para elit politik untuk menentukan aturan sesuai selera dan kepentingan mereka. Sesungguhnya, inilah bukti nyata bahwa demokrasi kapitalisme hanya menghasilkan kesenjangan, karena uang dan kekuasaan selalu menjadi tujuan utama, sementara amanah untuk menyejahterakan rakyat terus terabaikan.

Di sinilah perbedaan mendasar antara wakil rakyat dalam demokrasi dan wakil umat dalam Islam. Demokrasi sering menjadikan akal manusia sebagai sumber hukum, sehingga kepentingan pribadi dan kelompok lebih menonjol. Sebaliknya, dalam Islam asasnya adalah akidah dan syariat Allah sebagai pedoman. Setiap keputusan, termasuk urusan rakyat, selalu dikembalikan kepada aturan Allah, bukan selera manusia. Jabatan bukanlah privilege untuk memperkaya diri, tetapi amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Keimanan menjadi benteng agar seorang wakil umat senantiasa terikat pada syariat dan menjauhi penyalahgunaan wewenang.

Setiap muslim, termasuk anggota majelis umat, wajib menampilkan kepribadian Islam dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Dengan semangat fastabiqul khairat—berlomba dalam kebaikan—mereka menjalankan amanah sebagai wakil umat dengan tulus. Orientasinya bukan materi, melainkan ridha Allah dan kesejahteraan rakyat yang benar-benar diwakili. Model kepemimpinan seperti ini jauh lebih adil, menentramkan, dan menyejahterakan rakyat, karena setiap amanah adalah tanggung jawab dunia dan akhirat.

Kenaikan tunjangan DPR di tengah kesulitan rakyat sejatinya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa sistem yang hanya mengedepankan materi akan selalu menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan. Islam menawarkan solusi nyata yaitu kepemimpinan adalah amanah, bukan alat memperkaya diri, dan setiap tindakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Sudah saatnya umat kembali meneladani prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Saat umat kembali menegakkan prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan bernegara, amanah tidak lagi dijadikan alat memperkaya diri, melainkan sarana untuk melayani dan menyejahterakan masyarakat. Kembalilah kepada syariat Allah, karena hanya dengan panduan-Nya lah tatanan kepemimpinan dan kehidupan bermasyarakat bisa benar-benar adil, seimbang, dan membawa keberkahan bagi seluruh umat.

 

[LM/nr]