Reshuffle Kabinet: Harapan Baru atau Ilusi Lama?

Reshuffle _20250915_070728_0000

Oleh: Nettyhera

(Pengamat Kebijakan Publik)

 

Lensa Media News – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini melakukan reshuffle kabinet, mengganti sejumlah posisi penting di kementerian strategis. Wajah-wajah baru hadir di Kementerian Keuangan, Pendidikan, Kesehatan, Sosial, hingga sektor pertahanan. Publik menyambutnya dengan optimisme: semoga perubahan figur ini membawa arah baru pembangunan nasional dan menyejahterakan rakyat. Media menyoroti khususnya posisi Menteri Keuangan, yang kini dijabat Purbaya Yudhi Sadewa, sebagai kunci pengelolaan fiskal negara (Kompas, 10 September 2025; CNN Indonesia, 11 September 2025).

Namun, di balik euforia itu, persoalan mendasar tetap menanti. Utang negara terus menanjak dan menjadi beban berat. Per April 2025, posisi utang pemerintah Indonesia mencapai sekitar Rp 9.105 triliun (Seknas FITRA, 2025). Beban bunga utang dalam RAPBN 2026 diperkirakan mencapai Rp 599,44 triliun, naik dari outlook 2025 sebesar Rp 552,1 triliun (CNBC Indonesia, 4 Juli 2025). Artinya, lebih dari 20 persen belanja negara habis untuk membayar pokok dan bunga utang, sementara pelayanan publik masih jauh dari memuaskan. Program pendidikan, kesehatan, dan sosial tetap mengalami masalah serius. Kasus keracunan massal pada program makan bergizi gratis adalah contoh nyata lemahnya tata kelola.

 

Rotasi Figur vs Perubahan Substansial

Reshuffle memang memberi wajah baru, tetapi tidak otomatis menyelesaikan masalah struktural. Menteri hanyalah operator dari sistem yang ada. Selama paradigma kapitalisme dan demokrasi-liberal tetap dijalankan, kebijakan fiskal akan tetap mengandalkan utang dan pajak, sementara kepentingan asing dan oligarki memengaruhi arah pembangunan. Rotasi menteri hanya memperbarui wajah, bukan memperbaiki sistem.

Allah SWT berfirman:

Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit…” (QS. Thaha: 124).

Ayat ini relevan dengan situasi bangsa saat ini. Pergantian figur tanpa perubahan sistem hanya akan menghasilkan “kesempitan” yang sama, karena aturan dasar tetap jauh dari syariat Allah.

 

Dampak Nyata bagi Rakyat

Reshuffle sering menimbulkan harapan baru, namun realitas menunjukkan pola yang sama. Defisit anggaran tetap terjadi, korupsi masih menghantui, pelayanan publik jauh dari ideal, dan kesenjangan sosial terus melebar. Data BPS mencatat rasio gini berada di kisaran 0,39, menunjukkan ketimpangan yang signifikan. Rakyat menanggung beban pajak, biaya hidup meningkat, dan ketergantungan pada utang luar negeri membuat negara rentan terhadap tekanan global.

Hadis Rasulullah SAW menegaskan:

Imam adalah pengurus dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam Islam, pemimpin bukan sekadar penguasa, melainkan pelayan rakyat. Sistem kapitalisme mengubah menteri menjadi operator kepentingan elit, bukan pelayan umat.

 

Pelajaran dari Masa Kekhilafahan

Sejarah menunjukkan bahwa sistem Islam mampu mengelola negara tanpa utang yang membebani rakyat. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Baitul Mal cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Pajak hanya bersifat darurat, sedangkan zakat, kharaj, dan pengelolaan sumber daya negara digunakan untuk kesejahteraan semua. Tidak ada rakyat kelaparan sementara negara sibuk membayar bunga utang.

Allah SWT menjanjikan keberkahan bagi negeri yang menaati aturan-Nya:

Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (QS. Al-A’raf: 96).

Ini membuktikan bahwa keberkahan ekonomi hanya tercapai dengan ketaatan pada syariat Allah, bukan kapitalisme yang rakus.

 

Solusi Ideologis: Perubahan Sistem

Jika Indonesia ingin benar-benar berubah, pergantian menteri saja tidak cukup. Sistem kapitalistik yang menjerat rakyat harus diganti dengan sistem Islam kaffah. Dengan sistem ini:

Dalam sistem Islam, negara tidak bergantung pada utang luar negeri yang mengikat dan membebani generasi mendatang. Semua sumber daya negara, mulai dari tambang, hutan, hingga energi, dikelola untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperkaya segelintir elit atau kepentingan asing. Setiap kebijakan fiskal dirancang untuk memastikan semua warga mendapatkan haknya, sementara pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan disediakan secara merata dan tanpa biaya yang mencekik, sehingga setiap anak bisa belajar, setiap warga bisa berobat, tanpa harus khawatir kekurangan biaya.

Dalam kerangka ini, pemimpin dan menteri diposisikan bukan sebagai penguasa yang mencari keuntungan pribadi atau memperluas kekuasaan, tetapi sebagai pelayan rakyat yang mengemban amanah, memastikan keadilan dan kesejahteraan menjadi prioritas utama. Dengan pengelolaan yang adil dan berlandaskan syariat Allah, kesejahteraan negara dan rakyat tidak lagi bergantung pada utang atau kepentingan politik, melainkan pada keberkahan dan manajemen yang benar, menjadikan setiap kebijakan menyentuh kebutuhan nyata rakyat dan membawa berkah bagi seluruh negeri.

Hanya dengan perubahan sistemik seperti ini, reshuffle kabinet tidak lagi sekadar kosmetik, tetapi melahirkan tata kelola yang adil dan menyejahterakan.

 

Penutup

Reshuffle Kabinet selalu dijual sebagai momentum perubahan. Namun, selama sistem kapitalisme tetap diterapkan, hasilnya hanyalah ilusi lama dalam bungkus baru. Rakyat tetap menanggung beban utang, pajak, dan ketimpangan sosial. Wajah baru di kabinet tidak bisa menjawab masalah fundamental bangsa.

Indonesia memerlukan perubahan ideologis dan sistemik. Islam dengan sistem Khilafah menunjukkan bahwa kesejahteraan dan keadilan dapat diwujudkan tanpa utang yang membebani rakyat. Inilah jalan yang sejati untuk mengakhiri lingkaran krisis dan mewujudkan negara yang adil dan makmur.

 

[LM/nr]