Mungkinkah Negara Hidup Tanpa Pajak?

Pajak

Oleh Diana Kamila
(Mahasiswa STEI Hamfara)

 

LensaMediaNews.com, Opini_ Kenaikan pajak di sejumlah daerah seperti yang terjadi di Kabupaten Pati Jawa Tengah, mendapat protes dan penolakan keras warga setempat. Penolakan ini sungguh logis, bayangkan saja, Bupati Sudewi berencana menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sampai 250 persen. Alhasil, aliansi masyarakat Pati menggelar demontrasi besar pada Rabu (13/08/2025) dengan tuntutan menolak kenaikan pajak serta meminta lengsernya Bupati Pati. (Kompas.com, 13-8-2025)

Benjamin Fraklin pernah berkata, bahwa tidak ada kepastian selain kematian dan pajak, seakan menjadi realitas yang sulit terbantahkan. Hidup di sistem kapitalisme memang mengajarkan paham kebebasan, yaitu membolehkan apapun dimiliki manusia tanpa pandang bulu, bahkan individu boleh memiliki kekayaan alam. Maka selama sistem ini dipertahankan, pajak akan selalu menjadi kepastian.

 

Hanya saja kini menyisakan berbagai pertanyaan, apakah bisa negara tidak menggantungkan pilar ekonominya pada pajak? Tentu saja tidak bisa, kecuali pada sistem Islam. Mengapa demikian? sebab dalam sistem Islam, pilar utama pembiayaan negara bukanlah pada pajak. Pajak atau yang sering dikenal dengan dharibah hanya ditarik negara dalam kondisi darurat, yakni ketika Kas Negara (Baitul Mal) sedang kosong. Sementara di lain sisi, negara harus menjalankan kewajiban syar’i seperti membiayai jihad, membantu fakir miskin, atau mengatasi bencana alam.

 

Pajak yang dipungut pun hanya dari kaum muslim yang kaya dengan jumlah sesuai dengan kebutuhan, bukan permanen dan menyeluruh. Artinya dalam kondisi normal, rakyat tidak dipaksa untuk terus menerus menyetor pajak seperti dalam sistem kapitalisme.

 

Lalu, jika sistem Islam tidak bergantung pada pajak, lantas dari mana sumber pendapatan negara? Menutur Syekh An-Nabhani, sumber pemasukan negara amatlah banyak, di antaranya :
Fa’i dan kharaj : hasil dari tanah-tanah yang dikuasai umat Islam dalam peperangan.
Ghanimah dan anfal : harta rampasan perang dan hasil operasi jihad.
Jizyah : pungutan dari warga non-muslim sebagai kompensasi perlindungan begara Islam.
Kepemilikan umum : minyak, gas, tambang, hutan air, listrik, dan sumber daya alam lainnya yang dikelola negara.
Zakat : kewajiban syariat yang hasilnya khusus untuk delapan golongan penerima (asnaf)
Kepemilikan negara : misalnya harta fa’i, usyur, atau harta orang murtad.

 

Tampak jelas di sini bahwa Islam punya sumber keuangan bahkan tanpa pajak. Apalagi jika sumber daya alam dapat dikelola dengan amanah oleh negara tanpa ada campur tangan korporasi asing bahkan oligarki.

 

Dalam Islam terdapat prinsip kepemilikan yang terbagi menjadi 3 kepemilikan: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Menurut syariah, individu tidak boleh memiliki harta milik umum dan milik negara. Harta milik umum akan dikelola oleh negara dan manfaatnya akan diberikan sepenuhnya untuk kemaslahatan umat. Inilah yang sangat membedakan sistem Islam dengan sistem kapitalisme yang membolehkan individu memiliki harta apa saja.

 

Demikianlah pengaturan pajak dalam Islam yang sangat bertentangan dengan pengaturan pajak pada sistem saat ini. Maka, untuk terlepas dari pajak, harus ada perubahan mendasar dalam pengelolaan negara. Sistem kapitalisme tidak layak untuk dipertahankan, sebagai gantinya, sistem Islam yang layak diterapkan. Wallahu a’lam bishshawab