Banjar Bandang Jejak Hitam Kapitalisme

Oleh: Noviya Dwi
LenSaMediaNews–Pemandangan memilukan ini jelas bukan sekadar musibah alam, melainkan buah pahit dari kebijakan yang lebih mementingkan kepentingan ekonomi ketimbang keselamatan rakyat.
Banjir yang melanda sejumlah kawasan di Bali awal September 2025 seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pihak. Bukan hanya tentang genangan air dan lumpur yang merendam rumah warga, tetapi tentang rapuhnya paradigma pembangunan yang selama ini dijalankan.
Berdasarkan data, sebanyak 123 titik di 6 kabupaten/kota terdampak, 18 orang meninggal dunia, dan ratusan lainnya terpaksa mengungsi. Tukad (sungai) Badung semakin menyempit akibat padatnya bangunan di sekitarnya.
Sementara itu, hutan di hulu Gunung Batur yang dahulu mencapai 49.000 hektar kini hanya tersisa 1.200 hektar saja. Dalam dua dekade terakhir, jumlah akomodasi wisata seperti hotel dan vila bahkan melonjak dua kali lipat (kompas.id/11-09-2025).
Fakta ini menunjukkan bahwa kerusakan ekologis bukanlah bencana yang datang tiba-tiba tanpa sebab. Ada campur tangan manusia yang merusak keseimbangan alam. Alih fungsi lahan secara masif dari sawah, subak, dan hutan menjadi bangunan pariwisata telah merobek harmoni lingkungan yang sebelumnya menopang kehidupan masyarakat.
Lebih parah lagi, pembangunan tersebut sering kali mengabaikan tata ruang yang ada. Rencana Tata Ruang Wilayah hanya menjadi dokumen formal, sementara implementasinya lemah. Tak sedikit bangunan berdiri di bantaran sungai tanpa izin yang semestinya.
Kapitalisme Biang Kerusakan
Mengapa kerusakan lingkungan terus berulang? Jawabannya terletak pada paradigma pembangunan yang diterapkan, yaitu Kapitalisme. Sistem ini menjadikan keuntungan ekonomi sebagai tujuan utama, sementara kelestarian ekologi dianggap penghalang.
Pariwisata dijadikan tumpuan utama pemasukan daerah dan negara. Demi menarik wisatawan dan investor, pemerintah mengorbankan lahan produktif yang sebenarnya menjadi penopang kehidupan rakyat.
Tata ruang yang diabaikan, kawasan resapan air ditebang, sungai dipersempit oleh bangunan, sementara jumlah wisatawan kian melonjak tanpa kendali.
Paradigma pembangunan Kapitalistik ini hanya memandang keuntungan finansial. Investor diprioritaskan, turis dijadikan tolok ukur keberhasilan, sedangkan rakyat dan kelestarian alam menjadi korban.
Tidak heran jika Bali yang dahulu dikenal dengan harmoni subak dan hutan yang luas, kini rentan banjir bandang hanya karena hujan deras.
Allah SWT berfirman yang artinya:”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (TQS. Ar-Rum: 41).
Banjir yang berulang ini adalah cermin nyata dari ayat tersebut. Alam rusak bukan karena sunnatullah semata, melainkan karena tangan-tangan manusia yang serakah, yang menjadikan alam sekadar objek eksploitasi.
Banjir bandang yang berulang di Bali hanyalah satu dari sekian banyak bukti kerusakan ekologis akibat pembangunan Kapitalistik. Selama paradigma Kapitalisme terus dipertahankan, bencana serupa akan terus datang. Solusi tambal sulam seperti normalisasi sungai atau penanaman pohon tidak akan menyelesaikan akar masalah.
Solusi Islam Kafah
Dalam pandangan Islam, alam adalah amanah dari Allah SWT. yang harus dikelola dengan bijak. Air, hutan, sungai, dan energi adalah bagian dari kepemilikan umum yang tidak boleh diprivatisasi apalagi dikomersialisasi. Dalam sistem Islam ada kewajiban menjaga pemanfaatan sumber daya tersebut agar benar-benar berpihak pada kemaslahatan umat, bukan segelintir investor.
Tidak boleh ada alih fungsi lahan produktif yang menjadi penopang pangan rakyat, karena akan melemahkan ketahanan pangan masyarakat. Negara juga harus menjaga hutan di hulu gunung sebagai daerah resapan dan benteng alami dari ancaman banjir dan longsor.
Berbeda dengan Mapitalisme yang menggantungkan ekonomi pada pariwisata dan investasi asing, Islam memiliki mekanisme ekonomi yang mandiri. Pemasukan negara dalam sistem Islam bersumber dari Baitulmal, dengan pos kepemilikan umum dan negara yang dikelola negara untuk kepentingan rakyat.
Dengan mekanisme ini, negara tidak bergantung pada pariwisata. Alhasil, pembangunan tidak perlu memaksakan diri mengeksploitasi lahan untuk kepentingan industri wisata. Sebaliknya, pembangunan diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan.
Khilafah juga memiliki fungsi pengawasan yang kuat. Tata ruang dan perencanaan wilayah dijalankan dengan ketat berdasarkan hukum syara’, bukan kepentingan investor. Jika ada bangunan yang melanggar aturan syariat dan membahayakan rakyat, negara akan menindak tegas bahkan merobohkan bangunan tersebut.
Jadi, solusi mendasar adalah dengan meninggalkan sistem Kapitalisme yang rakus, menuju penerapan Islam kafah yang memuliakan manusia sekaligus menjaga bumi sebagai amanah Allah. Wallahualam bishawab. [LM/ry].
