Keseimbangan Alam Ditentang, Banjir Bandang Datang Berulang

Oleh: Pudji Ariyanti
Pegiat Literasi Untuk Peradaban
LenSaMediaNews.Com–Banjir bandang di Bali melanda 123 titik di enam kabupaten/kota, menewaskan 18 orang, dan memaksa ratusan warga mengungsi. Tukad (sungai) Badung yang dahulu menjadi sumber kehidupan kini menyempit, terhimpit oleh deretan bangunan wisata yang tak terkendali.
Di hulu Gunung Batur, hutan yang dulu membentang luas kini tinggal 1.200 hektare dari sebelumnya total 49 ribu hektare. Dan ironinya, dua dekade terakhir, jumlah akomodasi wisata di Bali melonjak hingga dua kali lipat (KOMPAS.com, 11-9-2025).
Fakta Lapangan tak Terbantahkan
Pembangunan kapitalistik menjadikan pemerintah memprioritaskan turis dan profit ketimbang menjaga lingkungan. Sehingga alih fungsi lahan secara masif menjadi faktor utama banjir bandang berulang.
Sawah dan subak, yang selama ratusan tahun menjaga siklus air di Bali, kini tersingkir oleh hotel, vila, dan bangunan pariwisata. Hutan yang semestinya menjadi penyangga alami justru ditebang demi membuka ruang investasi.
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang seharusnya menjadi pedoman, praktis hanya formalitas. Implementasinya lemah dan sering kali diabaikan, sebab benturan dengan kepentingan modal lebih kuat dibanding komitmen menjaga lingkungan.
Bahkan ironisnya, banyak bangunan berdiri tepat di bantaran sungai. Wilayah yang semestinya steril demi mencegah risiko bencana. Alih-alih ditegakkan, aturan justru kendor mengikuti arah kepentingan kapital.
Pemerintah daerah pun sering kali gamang, antara menjaga ruang hidup rakyat atau menjaga arus investasi. Sayangnya, pemerintah lebih memilih investasi agar cuan lancar.
Kapitalisme Sering Mengakali Pembangunan
Banjir bandang di Bali tak bisa dilepaskan dari logika pembangunan kapitalistik. Kapitalisme selalu menempatkan keuntungan ekonomi sebagai prioritas, sementara kelestarian ekologi hanya jadi retorika.
Dalam paradigma ini, tanah, hutan, sungai, bahkan udara dipandang sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi untuk mendulang devisa. Pariwisata, sebagai motor utama ekonomi Bali, dipuja layaknya dewa penolong, padahal sesungguhnya menyimpan kerugian itu sendiri bagi manusia.
Semakin banyak turis yang datang, semakin besar pula kebutuhan akomodasi, infrastruktur, dan layanan tambahan. Semua itu menuntut ruang, energi, dan sumber daya alam yang tak sedikit.
Lahan pertanian produktif yang dahulu menopang kemandirian pangan warga perlahan lenyap. Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dan penyerap air berubah menjadi beton dan aspal.
Kapitalisme tak pernah peduli dengan lingkungan. Selama keuntungan mengalir, kerusakan dianggap bagian dari pembangunan. Itulah mengapa meski banjir, longsor, dan krisis air terus terjadi, pembangunan pariwisata tidak berhenti.
Bahkan bencana sering dijadikan alasan untuk membuka proyek baru dengan dalih mitigasi atau pemulihan ekonomi. Hal inilah yang membuat bencana berulang dan semakin parah.
Islam Menyelaras dengan Alam
Islam memandang alam sebagai amanah dari Allah Swt, bukan objek komersialisasi. Air, hutan, dan sungai adalah milik umum yang tidak boleh diperjualbelikan demi kepentingan segelintir pihak. Allah telah mengingatkan dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rum: 41.
Dalam sistem Islam, Negara Khilafah memiliki kewajiban menjaga tata ruang yang sesuai syariat. Alih fungsi lahan yang mengancam keseimbangan alam tidak boleh dilakukan. Negara juga harus memastikan hutan tetap lestari, sungai tetap bersih, dan kawasan resapan air tidak diganggu pembangunan. Semua ini bukan hanya demi alam, tetapi demi perlindungan rakyat dari bencana.
Islam juga tidak menjadikan pariwisata sebagai sumber utama pemasukan negara. Ketergantungan pada turis dan investasi asing tidak akan pernah menjamin kemandirian. Negara Islam memperoleh pemasukan dari mekanisme syariat, seperti pengelolaan sumber daya alam strategis (tambang, minyak, hutan) untuk kepentingan rakyat, zakat, fai’, kharaj, hingga pengelolaan harta milik umum. Dengan demikian, pembangunan tidak lagi tunduk pada tekanan pasar global, melainkan diarahkan untuk maslahat manusia dan kelestarian alam.
Banjir bandang di Bali bukanlah sekadar fenomena alam, melainkan cermin dari kerusakan sistemik akibat logika kapitalistik. Selama pembangunan masih diletakkan di atas keuntungan, tragedi serupa akan terus berulang.
Islam menawarkan jalan keluar yang bukan sekadar tambal sulam, melainkan solusi menyeluruh. Dengan menempatkan alam sebagai amanah dan menegakkan aturan syariat dalam pengelolaan ruang, air, hutan, dan tanah, bencana ekologis bisa dicegah. Kapitalisme hanya melahirkan bencana berulang, sementara Islam menghadirkan harmoni antara manusia dan alam. Wallahu’alam Bissawab. [LM/ry).
