Bertahan di Tengah Gulana, Layakkah?

Oleh : Ummu Rifazi, M.Si
LenSaMediaNews.Com–Gelagat job hugging mulai merambah ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia. Terminologi tersebut mengindikasikan ihwal pegawai yang memutuskan bertahan dalam pekerjaannya kendati tidak nyaman, minim motivasi, nir kreativitas dan bahkan dalam gulana ketidakpastian.
Pengamat Ketenagakerjaan, Prof. Tadjuddin Noer Effendi, yang merupakan Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM) mencermati bahwa fenomena job hugging lahir dari ketidakpastian ekonomi dan kondisi domestik Indonesia yang masih kacau. Marak pekerja memutuskan bertahan di posisi lama karena khawatir kehilangan pekerjaan di tengah ketidakpastian peluang mencari pekerjaan baru (suarasurabaya.net, 22-09-2025).
Merana dalam Sistem yang Abai
Lapangan pekerjaan semakin langka hari ini. Kondisi yang mengenaskan ini tak terlepas dari dari lesunya perekonomian global dan meningkatnya risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih marak terjadi. Tercatat oleh BPS (Badan Pusat Statistik), tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia per Februari 2025 sebanyak 4,76 persen. Kelompok usia 15-19 menempati TPT 22,34 persen, sementara usia 20-24 tahun di angka 15,34 persen.
Dan pada faktanya, fenomena job hugging bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga marak terjadi di banyak negara. Kondisi yang mendunia tersebut menjadi indikasi kuat bahwa sistem kehidupan Kapitalisme sekuler liberal yang diterapkan, gagal menjamin lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Asas kebebasan dalam sistem batil ini telah meniscayakan negara mengeluarkan regulasi yang berpihak pada segelintir kapitalis.
Hal tersebut menjadi keniscayaan terbuka lebar peluang bagi swasta untuk mengambil alih kewajiban negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. Kondisi semakin diperparah dengan praktek ekonomi non riil dan ribawi yang menyebabkan minimnya pergerakan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Paradigma liberalisasi sistem batil ini, termasuk perdagangan jasa, meniscayakan pekerjaan sebagai urusan personal rakyatnya dan bukan tanggung jawab negara. Meski dalam kurikulum pendidikan perguruan tinggi hari ini anak didik dibekali untuk adaptif dalam dunia kerja, namun negara abai menyediakan lapangan pekerjaan.
Rakyatnya terpaksa berjuang sendiri, merana dalam persaingan tenaga kerja yang semakin ketat. Alhasil muncullah fenomena job hugging yang beresiko memunculkan ancaman ekosistem kerja stagnan yang akan melemahkan daya saing ekonomi secara keseluruhan.
Tak hanya dari sisi perekonomian, sistem batil yang diterapkan di negeri muslimin in ipun abai menyediakan lapangan pekerjaan yang memperhatikan kehalalan dan keharaman. Padahal semua aktivitas muslimin, termasuk bekerja merupakan amal ibadah yang harus memperhatikan kehalalan dan keharaman berdasarkan syariat Islam.
Layakkah kita bertahan dalam gelimang dosa karena tercampur baurnya halal dan haram dalam sistem hidup ini? Sanggupkah nantinya mempertanggungjawabkan semua amalan kita yang tercemari syubhat (ketidakjelasan halal haram) dan “dosa investasi” ini kelak di pengadilan Allah Ta’alaa?
Sakinah dalam Sistem yang Amanah
Sakinah atau ketenangan hidup adalah kebahagiaan hakiki bagi setiap orang. Bagi muslimin, sakinah hanya mampu terwujud ketika rida Allah Ta’alaa hadir dalam semua aktivitas kita.
Allah akan rida ketika semua amalan dilakukan dengan ikhlas serta jelas kehalalan dan keharamannya. Semua itu hanya mampu terwujud ketika ditopang oleh sistem kehidupan paripurna yang telah disiapkan Allah Ta’alaa bagi umat manusia, yaitu Islam.
Syariat Islam baru akan menjadi sistem hidup paripurna, manakala diterapkan oleh Daulah Khilafah Islamiyyah secara kafah (menyeluruh) dalam seluruh aspek kehidupan. Daulah Khilafah akan menunaikan amanahnya menyediakan lapangan kerja sebagai kewajiban syariat. Lapangan pekerjaan juga akan dijaga agar tidak sekedar merupakan urusan mencari nafkah, namun merupakan bentuk pengamalan ilmu agar bermanfaat.
Mengutip perkataan bijak seorang ulama yaitu Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin dalam “Tsamaraatul ‘Ilmi Al-‘Amalu” bahwa,”Barangsiapa yang berilmu namun tidak beramal, maka mereka adalah yang dimurkai, berhak mendapat murka Allah Ta’ala, disebabkan oleh kelalaian mereka dalam mewujudkan tujuan dari ilmu, yaitu amal shalih. Dan barangsiapa yang beramal tanpa ilmu, maka mereka adalah orang yang tersesat dari jalan Allah Ta’ala dan jalan yang lurus.”
Maknanya, pekerjaan bukanlah sekadar karier, melainkan wasilah (jalan) untuk menjaga martabat, memberi manfaat dan mendekatkan diri kepada Allah Rabbul ‘aalamiin.
Daulah Khilafah juga akan menyelenggarakan keluasan lapangan kerja, agar rakyat produktif bekerja dan berkarya sesuai dengan potensi serta bidang keilmuan yang dimiliki. Dengan terwujudnya hal tersebut, tentulah sakinah, bahagia dan syukur akan tumbuh subur dalam diri setiap individu rakyatnya, dan menutup ruang bagi lahirnya fenomena job hugging. Wallahu a’lam bisshawab. [LM/ry].