Fenomena ‘Lonely in The Crowd’: Sakit Sosial di Era Digital

Lonely in the crowd

Oleh Ria Rizki

 

 

LensaMediaNews.com, Opini_ Perasaan sepi di tengah keramaian bukan lagi sekadar ungkapan puitis. Kini, ia menjelma jadi fenomena nyata yang dialami banyak orang, terutama generasi muda. Media sosial yang katanya “menghubungkan” justru sering menambah jarak. Ada yang tiap hari aktif di TikTok, Instagram, atau Twitter, tetapi tetap merasa hampa. Istilahnya, lonely in the crowd, kesepian di tengah keramaian digital.

 

Fakta ini sempat diungkap riset mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY. Mereka menyoroti bagaimana representasi digital bisa terasa lebih nyata daripada kehidupan asli. Emosi yang tercipta di balik layar, bisa memengaruhi kesehatan mental bahkan relasi sosial seseorang. (Detik.com)

 

Dari Sudut Neurosains: Otak Tergoda Dopamin

Fenomena ini bisa dijelaskan lewat neurosains. Setiap kali kita mendapat like atau komentar, otak melepaskan hormon dopamin yang menimbulkan rasa senang. Semakin sering kita mengecek gawai, semakin terikat pula otak pada “reward instan” itu. Lama-lama, dunia nyata terasa membosankan dibanding dunia maya yang penuh notifikasi.

 

Akibatnya, relasi langsung jadi menurun. Orang bisa duduk di meja makan bersama keluarga, tapi sibuk dengan gawainya masing-masing. Hubungan sosial tergantikan oleh interaksi semu. Otak yang seharusnya terlatih berempati lewat tatap muka, kini justru terlatih menanggapi emoji.

 

Dari Sisi Fitrah: Naluri yang Terganggu

Dalam perspektif fitrah, manusia diciptakan Allah dengan naluri sosial (gharizah nau’). Ada kebutuhan untuk berinteraksi, dekat, dan merasa diterima. Naluri ini fitrah, tak bisa dihapus. Tapi dalam sistem sekuler liberal hari ini, fitrah sosial sering menyimpang.

 

Generasi muda yang sejatinya penuh energi untuk berkontribusi, diarahkan pada aktivitas individualis. Mereka lebih mudah membangun “persona” di media sosial ketimbang menjalin komunikasi nyata. Fitrah bergaul yang seharusnya menghasilkan solidaritas, akhirnya berubah menjadi kompetisi popularitas.

 

Dari Perspektif Ideologis: Sistem yang Membentuk

Masalah ini bukan sekadar “kurang literasi digital” atau “kurang iman”. Akar masalahnya lebih dalam: sistem yang menaungi kehidupan kita. Sistem sekuler liberal menempatkan kebebasan individu di atas segalanya. Industri kapitalis memanfaatkan itu untuk meraup untung. Maka lahirlah algoritma media sosial yang sengaja dirancang adiktif.

 

Inilah yang membuat banyak orang semakin asosial. Bahkan, di rumah sendiri, anggota keluarga bisa terasing satu sama lain. Padahal, Islam justru menuntun fitrah manusia dengan aturan yang menyeluruh. Dalam Islam, interaksi sosial dijaga dengan adab, ukhuwah, dan kewajiban saling peduli.

 

Dampak Nyata pada Generasi Muda

Generasi muda yang seharusnya bisa menghasilkan karya produktif, justru banyak yang kehilangan fokus. Waktu habis untuk scrolling tanpa arah. Lebih buruk lagi, rasa kesepian yang terus dipendam bisa memicu kecemasan, depresi, bahkan krisis identitas. Padahal, pemuda adalah aset berharga bagi kebangkitan umat. Jika mereka terjebak dalam kesepian digital, potensi besar itu terbuang sia-sia.

 

Jalan ke Luar: Islam Selaras dengan Fitrah

Islam memandang manusia bukan sekadar makhluk biologis, tapi juga makhluk sosial dan spiritual. Naluri ingin terhubung bukan salah, tapi harus diarahkan. Rasulullah mencontohkan interaksi sosial yang hangat dan penuh makna. Para sahabat muda diasuh bukan hanya untuk dekat dengan Allah, tapi juga untuk peduli pada umat.

 

Jika aturan Islam ditegakkan, maka industri digital pun tidak dibiarkan lepas kendali. Negara akan hadir mengarahkan pemanfaatan teknologi agar mendukung produktivitas, bukan sekadar candu. Generasi muda pun tumbuh sehat secara fisik, mental, dan sosial.

 

Penutup

Kesepian di tengah keramaian digital adalah gejala yang nyata. Neurosains menjelaskan jebakan dopamin, fitrah menunjukkan naluri sosial yang terganggu, dan ideologi sekuler memperparah keadaan. Islam memberi jawaban yang selaras dengan fitrah, membebaskan manusia dari jebakan sistem rusak.

 

Pertanyaannya: apakah kita akan terus membiarkan generasi muda larut dalam keramaian semu, atau menuntun mereka kembali pada fitrah dengan cahaya Islam?