Al-Khoziny, Potret Buram Jaminan Fasilitas Pendidikan

Oleh: Pudji Arijanti
Pegiat Literasi Untuk Peradaban
LenSaMediaNews.Com–Tragedi ambruknya gedung lantai empat Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo menyisakan duka mendalam. Puluhan santri yang tengah khusyuk menunaikan salat Asar tertimpa reruntuhan bangunan yang roboh seketika.
Data terbaru mencatat: 67 meninggal, 104 mengalami luka-luka (selamat), termasuk 8 bagian tubuh (body part) yang berhasil dievakuasi. BNBP memastikan seluruh jenazah korban telah diketemukan. Kejadian luar biasa ini bukan sekadar musibah teknis, tetapi potret nyata rapuhnya jaminan keselamatan dan fasilitas pendidikan di negeri ini (detiknews, 5-10-2025).
Perlu dipahami, bangunan pesantren yang seharusnya menjadi tempat menuntut ilmu, justru berubah menjadi tempat duka bagi para pencari ilmu beserta keluarganya. Komentar masyarakat pun beragam. Gedung tersebut diduga mengalami kesalahan konstruksi. Struktur bangunan dinilai tidak sesuai standar kekuatan untuk menahan beban lantai di atasnya.
Bahkan tim ahli struktur bangunan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Mudji Irmawan, menjelaskan: bahwa gedung berlantai empat di Pesantren Al Khoziny yang ambruk tidak memiliki konstruksi monolit yang utuh. Pembangunannya dilakukan secara bertahap, dan sambungan antara bangunan lama dan bangunan baru diduga tidak cukup kuat menopang beban keseluruhan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan teknis terhadap pembangunan fasilitas pendidikan di tingkat masyarakat.
Namun di balik itu, tersimpan masalah yang lebih mendasar: keterbatasan dana dan lemahnya tanggung jawab negara dalam menjamin sarana pendidikan non formal seperti pesantren.
Sesungguhnya sebagian besar pesantren berdiri berkat gotong royong wali santri dan para donatur. Pemerintah sering kali hanya datang ketika terjadi musibah, bukan saat pondasi bangunan mulai retak. Padahal, pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa kecuali, dan keselamatan para pelajar seharusnya menjadi prioritas. Dan negara adalah pihak yang paling berwajib menjamin penyelenggaran pendidikan secara keseluruhan.
Ketika negara abai, maka masyarakatlah yang dipaksa menanggung beban berat itu. Mereka membangun dengan kemampuan seadanya, sementara negara sibuk dengan proyek-proyek besar yang lebih menguntungkan secara politis.
Tragedi ini menunjukkan, betapa lemahnya perhatian negara terhadap jaminan keselamatan di lembaga pendidikan masyarakat. Jika gedung sekolah negeri diwajibkan memenuhi standar keamanan yang ketat. Misalnya harus ada izin mendirikan bangunan (IMB), audit struktur, pengawasan teknis dari dinas terkait, sampai Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dan sebagainya.
Pertanyaannya, mengapa pondok pesantren dibiarkan membangun sendiri gedung pendidikannya tanpa pendampingan teknis yang layak? Bukankah keselamatan jiwa siapa pun harusnya menjadi tanggung jawab negara?
Sejatinya, cara pandang penguasa dalam Sistem Kapitalis-sekuler, meskipun pesantren telah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, namun dalam praktiknya pendidikan pesantren tradisional sering kali dianggap di luar tanggung jawab negara.
Berbeda dengan Islam. Negara tidak boleh lepas tangan terhadap urusan pendidikan. Islam memandang pendidikan adalah kewajiban bagi masyarakat. Tentu saja negara wajib menyediakan dengan standar keamanan, kenyamanan dan terbaik.
Bagi negara Islam, menyediakan sarana pendidikan adalah hal yang mudah. Selain merupakan kewajiban, juga terdapat dana untuk mewujudkannya. Dimana hal ini diatur untuk memenuhi kebutuhan umat, bukan bergantung pada sumbangan masyarakat. Pendanaan fasilitas pendidikan diatur dalam sistem keuangan Baitulmal.
Negara berkewajiban memastikan semua lembaga pendidikan termasuk pesantren, memiliki fasilitas yang layak dan aman. Pendek kata di bawah sistem Islam, keselamatan rakyat adalah kewajiban syar’i.
Musibah di Sidoarjo seharusnya menyadarkan kita bahwa sistem pendidikan saat ini masih berpijak pada logika pasar. Sekolah dan pesantren berlomba mencari donatur, sementara negara hanya berperan sebagai penonton. Jika sistem ini masih dipertahankan tragedi serupa bisa saja terulang.
Tragedi Ponpes Al Khaziny bukan sekadar soal beton dan besi yang patah, tetapi juga tentang sistem yang gagal melindungi generasi penerus bangsa. Jika negara benar-benar hadir untuk rakyat, seharusnya tidak ada lembaga pendidikan yang berdiri di atas pengorbanan nyawa.
Kita tentu berharap, duka ini tidak terulang kembali. Namun harapan tak cukup tanpa perubahan mendasar. Kita butuh sistem yang mampu melenyapkan tragedi-tragedi tersebut. Memandang pendidikan adalah wajah utama peradaban manusia.
Memperjuangkan tegaknya Islam dalam bingkai Khilafah adalah hakiki. Tanpa ragu bahwa Islam adalah sistem terbaik datangnya dari Allah untuk maslahat manusia seluruh alam. Wallahualam Bissawab. [LM/ry].