Harmony Award dan Proyek Kerukunan ala Moderasi

Black White Vintage Grunge Rough Square Creative Studio Call Logo_20251013_070516_0000

Oleh : Ummu Haniyah

(Pengamat Kebijakan Publik)

 

Lensa Media News – Kementerian Agama melalui Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) kembali meluncurkan Kick Off Harmony Award 2025. Acara ini melibatkan pemerintah daerah dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dari seluruh Indonesia. Menurut pernyataan resmi di laman NU Online (23/09/2025), penghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi bagi daerah dan tokoh agama yang dinilai berhasil menjaga kerukunan.

Sekilas, kegiatan ini tampak positif. Pemerintah tampak ingin memperkuat keharmonisan antarumat beragama agar tidak mudah terpecah. Namun jika dicermati lebih dalam, program Harmony Award ini bukan sekadar penghargaan simbolik. Ia menjadi alat untuk mendorong daerah mengikuti kebijakan pusat tentang moderasi beragama, sebuah agenda besar yang telah lama dijalankan pemerintah.

 

Di Balik Narasi “Kerukunan”

Secara ideologis, moderasi beragama tidak hanya bermakna ajakan agar umat beragama hidup rukun dan saling menghormati. Di dalamnya tersimpan gagasan yang lebih dalam: menjadikan semua agama dipandang setara, kebenaran dianggap relatif, dan pemeluk agama diarahkan untuk tidak terlalu yakin bahwa agamanya paling benar. Pandangan semacam ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam.

Islam menegaskan bahwa kebenaran itu tunggal, bukan jamak. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19)

Menurut Tafsir Ath-Thabari, ayat ini bermakna bahwa Allah tidak menerima agama apa pun selain Islam, sebab hanya Islam yang berisi penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah dan mengikuti ajaran para nabi sebelumnya yang telah disempurnakan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Karena itu, menyetarakan semua agama dalam kebenaran berarti menentang firman Allah.

Dengan moderasi beragama, umat perlahan diarahkan untuk menyamarkan kemurnian akidahnya demi menjaga harmoni versi negara. Tak jarang, untuk bisa mendapatkan Harmony Award, pemerintah daerah harus aktif mengadakan kegiatan lintas iman, mengedepankan narasi pluralisme, dan menyesuaikan kebijakan agar sejalan dengan agenda moderasi.

 

Kerukunan dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, kerukunan tidak diukur dari banyaknya acara lintas agama, tetapi dari kemampuan umat untuk hidup damai tanpa mengorbankan keyakinannya. Islam mengajarkan konsep kerukunan yang sangat jelas dan bermartabat. Allah SWT berfirman:

Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)

Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh mencampuradukkan keyakinan. Islam memerintahkan hidup berdampingan secara damai, tetapi tetap tegas dalam urusan akidah. Dalam Tafsir Ibn Katsir, ayat ini dijelaskan sebagai bentuk bara’ah atau pemisahan yang tegas antara Islam dan kekufuran. Tidak ada kompromi dalam hal keyakinan, meskipun dalam kehidupan sosial tetap boleh saling berinteraksi dengan baik.

Inilah hakikat kerukunan dalam Islam: bukan kerukunan yang menyatukan agama, tapi kerukunan yang menjaga perbedaan tanpa menabrak batas iman. Sementara konsep pluralisme justru ingin menghapus batas itu atas nama toleransi.

 

Negara Ikut Mengatur Keyakinan

Ironisnya, dalam sistem demokrasi sekuler saat ini, negara justru menempatkan diri sebagai pengatur urusan agama. Pemerintah membuat standar sendiri tentang bagaimana umat beragama harus bersikap. Akibatnya, muncul program seperti moderasi beragama yang secara tidak langsung mengintervensi wilayah akidah.

Padahal dalam Islam, peran negara bukan mengatur agar umat “terlihat moderat,” tetapi melindungi mereka agar tidak terpengaruh oleh pemikiran yang menyesatkan. Negara seharusnya menjadi pelindung akidah, bukan pengarah pemikiran. Bila akidah sudah diatur dengan ukuran buatan manusia, maka batas antara iman dan kufur akan mudah tercampuradukkan.

Selama sistem yang dipakai adalah demokrasi sekuler, arah kebijakan akan selalu berpihak pada pluralisme dan menyingkirkan nilai Islam. Sebab dalam demokrasi, semua agama harus dianggap sama agar sesuai dengan prinsip kebebasan. Padahal Islam tidak menolak kedamaian, tapi menolak penyamarataan kebenaran.

 

Membangun Kerukunan yang Hakiki

Umat Islam perlu memahami bahwa penghargaan seperti Harmony Award bukanlah ukuran keberhasilan dalam membangun kerukunan. Justru bisa menjadi alat kontrol agar masyarakat tunduk pada arah ideologi moderasi. Kerukunan sejati tidak diukur dari penghargaan, tetapi dari bagaimana umat bisa menjaga iman sekaligus berinteraksi secara baik dengan pemeluk agama lain.

Kerukunan hakiki hanya bisa terwujud bila Islam diterapkan secara menyeluruh. Dalam sistem Islam, negara tidak akan memaksa umat mengubah keyakinannya atas nama harmoni, tapi memastikan seluruh warga hidup aman di bawah hukum yang adil. Islam mengatur hubungan antaragama dengan prinsip yang kokoh: tidak ada paksaan dalam beragama, namun juga tidak ada kompromi dalam akidah.

Allah SWT berfirman:

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah: 256)

Ayat ini menegaskan bahwa Islam menghargai pilihan keyakinan setiap orang, tetapi sekaligus menolak penyamaan antara kebenaran dan kesesatan. Dengan prinsip ini, kerukunan dalam Islam tidak berarti meniadakan perbedaan, melainkan menjaga perbedaan itu agar tidak menjadi sumber permusuhan.

 

Penutup

Kini, umat harus lebih kritis. Ketika negara terus menggaungkan moderasi beragama, pertanyaannya bukan lagi tentang apakah kita ingin hidup rukun, tetapi kerukunan seperti apa yang ingin kita bangun. Apakah kerukunan yang dibuat berdasarkan ukuran manusia dan kompromi terhadap akidah, atau kerukunan yang lahir dari penerapan syariat Islam secara utuh?

Harmony Award bisa jadi sekadar simbol keberhasilan administratif, tetapi dari sudut pandang Islam, ia mencerminkan arah ideologis negara yang semakin menjauh dari ajaran wahyu. Karena itu, umat tidak boleh larut dalam euforia penghargaan semacam itu. Yang dibutuhkan bukan penghargaan, melainkan kesadaran untuk kembali pada aturan Allah SWT yang menegakkan keadilan dan menjaga kemurnian iman.

Kerukunan sejati hanya mungkin lahir dalam masyarakat yang diatur dengan hukum Allah, bukan dengan standar manusia. Dalam sistem Islam, semua agama boleh hidup berdampingan secara damai, namun akidah Islam tetap dijaga dan dimuliakan. Itulah bentuk kerukunan yang hakiki yaitu kerukunan yang menenangkan, bukan menyesatkan.

 

[LM/nr]