Shutdown Amerika, Runtuhnya Keangkuhan Negara Adidaya

Oleh: Ummu Haniyah
(Pengamat Politik Internasional)
Lensa Media News- Amerika Serikat kembali “berhenti bekerja”. Untuk ke-22 kalinya sejak 1976, negeri adidaya ini mengalami shutdown, atau penutupan sebagian fungsi pemerintahan federal akibat kebuntuan politik antara Partai Demokrat dan Partai Republik dalam menyetujui anggaran negara. Akibatnya, ratusan ribu pegawai pemerintah dirumahkan tanpa gaji, pelayanan publik lumpuh, dan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah makin merosot. Fenomena ini bukan sekadar drama politik tahunan, tetapi potret rapuhnya sistem kapitalisme demokrasi yang selama ini diagung-agungkan dunia.
Menurut laporan Reuters (1/10/2025), lebih dari 800 ribu pegawai federal terpaksa dirumahkan sementara, dan lebih dari 1,3 juta lainnya bekerja tanpa bayaran hingga kesepakatan pendanaan dicapai. Layanan penting seperti pengawasan pangan, penelitian medis, dan program bantuan sosial tertunda. Ironisnya, para politisi yang menyebabkan kebuntuan itu tetap menerima gaji penuh. Ketimpangan seperti ini membuat publik Amerika semakin frustrasi, sebagaimana tercermin dari survei Pew Research Center yang menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah turun ke angka hanya 16 persen, terendah sepanjang sejarah modern AS.
Politik Anggaran Mempermainkan Rakyat
Dalam sistem demokrasi, anggaran negara adalah produk kompromi antara kepentingan partai. Namun di AS, kompromi itu sering kali berubah menjadi ajang sandera politik. Partai yang menguasai Kongres menggunakan isu pendanaan untuk menekan presiden dari partai lawan. Tahun ini, Partai Demokrat menolak rancangan anggaran pemerintahan Donald Trump yang memuat alokasi besar untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan anggaran militer, serta pemotongan dana bagi program bantuan sosial dan iklim. Akibatnya, government shutdown kembali menjadi alat tawar-menawar politik yang mengorbankan jutaan rakyat biasa. (CBS News, 10 Oktober 2025)
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam sistem demokrasi kapitalistik, kepentingan rakyat bukan prioritas utama. Politik berjalan untuk menjaga kekuasaan, bukan melayani masyarakat. Padahal, rakyatlah yang menanggung beban pajak tertinggi dan paling terdampak ketika layanan publik berhenti.
Ekonom Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, menyebut bahwa akar masalah keuangan publik Amerika bukan terletak pada kurangnya dana, melainkan pada ketimpangan alokasi. “Sebagian besar anggaran AS tersedot ke sektor militer dan kepentingan korporasi besar,” ujarnya dalam Project Syndicate (2024). Saat rakyat membutuhkan bantuan sosial, pemerintah justru sibuk menutup celah politik dan menumpuk utang negara yang kini telah mencapai lebih dari 37,8 triliun dolar AS—angka tertinggi sepanjang sejarah menurut laporan Komite Ekonomi Gabungan Senat AS (JEC, Oktober 2025) dan Reuters (12 Oktober 2025).
Dampak Ekonomi dan Sosial yang Meluas
Shutdown kali ini diperkirakan menimbulkan kerugian ekonomi hingga 6 miliar dolar AS per minggu, menurut analisis Standard & Poor’s. Ribuan pegawai federal yang bergantung pada gaji bulanan terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Layanan publik seperti taman nasional, riset kesehatan, hingga proses administrasi imigrasi ditunda. Bahkan, program bantuan pangan bagi warga miskin di beberapa negara bagian mulai kehabisan dana operasional.
Fenomena ini memperlihatkan betapa sistem kapitalis menciptakan ketergantungan struktural. Rakyat dibuat bergantung pada sistem ekonomi yang tidak stabil dan rawan konflik politik. Di sisi lain, korporasi besar tetap untung karena kebijakan fiskal yang pro-bisnis tetap dijaga. Inilah wajah sesungguhnya dari kapitalisme global: sistem yang menampakkan kemegahan di luar, tapi rapuh di dalam.
Tak hanya rakyat Amerika yang merasakan imbasnya. Sebagai pengendali ekonomi dunia, setiap guncangan di AS berpotensi menular ke negara lain. Pasar saham global melemah, nilai tukar dolar berfluktuasi, dan harga minyak dunia ikut terpengaruh. Ini menegaskan bahwa krisis di pusat kapitalisme bukan sekadar persoalan domestik, tetapi ancaman global yang bisa menjerat ekonomi banyak negara terutama negara berkembang seperti Indonesia yang sangat tergantung pada sistem dolar.
Kekuasaan Tak Lagi Melayani
Shutdown AS sejatinya bukan sekadar krisis teknis anggaran, melainkan potret nyata kegagalan sistem kapitalisme sekuler yang menyingkirkan peran agama dari pengaturan kehidupan publik. Dalam sistem ini, negara tidak berdiri untuk mengurus urusan rakyat, melainkan menjadi alat pelindung bagi kepentingan korporasi besar dan elite politik. Demokrasi kapitalis menjadikan sumber daya publik sebagai alat tawar-menawar antara partai dan pemilik modal. Anggaran negara tidak lagi disusun berdasarkan kebutuhan rakyat, tetapi atas dasar siapa yang paling kuat menekan dan siapa yang paling besar menyumbang dana politik.
Sistem ini berpedoman pada standar keadilan yang bersumber dari manusia, melainkan pada logika keuntungan dan kalkulasi ekonomi. Segala sesuatu diukur dengan uang, bukan dengan kemaslahatan umat. Karena itu, ketika pendanaan publik tersendat dan roda pemerintahan berhenti, penyebab utamanya bukan kemiskinan sumber daya, melainkan rusaknya paradigma pengelolaan negara yang tunduk pada kepentingan kapital. Dalam logika kapitalisme, rakyat hanya menjadi beban fiskal, sementara korporasi adalah mitra strategis yang harus dilindungi. Maka, shutdown bukan sekadar gejala politik, tetapi bukti ideologis bahwa kapitalisme gagal menunaikan fungsi mendasar negara: menyejahterakan manusia secara adil.
Realitas Historis, Negara Islam Tak Pernah “Shutdown”
Islam memiliki konsep pemerintahan yang berbeda secara fundamental. Dalam sistem Khilafah, negara berdiri di atas asas aqidah Islam, bukan kontrak politik atau kepentingan partai. Anggaran negara diatur oleh syariah untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu.
Sebagaimana dijelaskan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, Baitul Mal menjadi instrumen utama dalam distribusi harta dan pendanaan publik dengan aturan yang tetap dan terikat hukum syariah, bukan hasil voting. Jika terjadi defisit, Khalifah tidak menaikkan pajak sesuka hati, melainkan menggunakan dana dari pos kepemilikan umum atau memangkas pengeluaran yang tidak mendesak.
Sejarah mencatat, dalam masa kekhilafahan Islam, negara tak pernah berhenti berfungsi, meski menghadapi krisis berat. Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, terjadi kelaparan besar selama Tahun Ramadah (18 H). Alih-alih membiarkan rakyat kelaparan, Umar menanggung semua kebutuhan rakyat dengan membuka pos Baitul Mal dan mengirim logistik ke berbagai wilayah. Ia bahkan menolak makan daging hingga rakyatnya kenyang.
Begitu pula pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid dari Daulah Abbasiyah. Negara mampu membangun infrastruktur besar, mengembangkan ilmu pengetahuan, dan menjamin kesejahteraan tanpa defisit anggaran yang menjerat. Hal itu karena sistem ekonomi Islam menempatkan kekuasaan sebagai pelayan, bukan penguasa rakyat. Kekayaan alam dikelola untuk kemaslahatan umum, bukan untuk kepentingan korporasi.
Solusi Islam Ideologis
Islam memandang pengelolaan keuangan negara sebagai amanah syar’i, bukan arena perebutan kekuasaan sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalis. Prinsip dasar ini menjadikan sistem keuangan Islam stabil dan berkeadilan karena seluruh mekanismenya berlandaskan hukum Allah, bukan kehendak manusia. Dalam sistem Islam, sumber pendapatan negara berasal dari pos-pos yang sah menurut syariah, seperti zakat, jizyah, kharaj, fai’, ghanimah, serta pengelolaan kepemilikan umum seperti tambang dan energi.
Sebagaimana dijelaskan Abdurrahman al-Maliki dalam As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, kekuatan ekonomi Islam terletak pada keadilan distribusi kekayaan, bukan pada penumpukan kapital. Negara wajib memastikan agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya, sebagaimana firman Allah Swt.:
“… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”
(QS. Al-Hasyr [59]: 7)
Karena itu, setiap individu dalam Daulah Islam berhak atas pemenuhan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, dan papan.
Anggaran negara disusun berdasarkan kemaslahatan yang ditetapkan oleh hukum syariah, bukan tekanan partai atau kelompok kepentingan. Islam menolak eksploitasi ekonomi global dan dominasi satu negara atas yang lain, sebab sistem keuangannya berbasis dinar dan dirham—mata uang yang bernilai tetap dan bebas dari manipulasi kapitalisme dunia.
Penutup
Shutdown Amerika menunjukkan betapa rapuhnya fondasi negara kapitalis. Krisis ini harus menjadi cermin bagi dunia Muslim agar tidak terus meniru sistem yang terbukti gagal. Sudah saatnya umat Islam kembali percaya diri menawarkan sistem alternatif yakni Khilafah Islam yang menjamin stabilitas politik, keadilan ekonomi, dan pelayanan publik tanpa jeda.
Negara Islam tidak akan pernah “shutdown”, karena ia berdiri di atas landasan aqidah dan hukum Allah yang menjamin keberlangsungan hidup manusia dengan penuh keadilan.
[LM/nr]