Magang Berbayar: Peluang atau Cermin Buram Dunia Kerja?

Oleh: Mufakkirot Fathnah, SE
(Praktisi Pendidikan & Pemerhati Ekonomi)
LensaMediaNews.com, Opini_ Fenomena magang berbayar bagi fresh graduate yang kini dipromosikan sebagai “pemberdayaan anak muda” sesungguhnya mencerminkan kenyataan getir: gelar sarjana tidak lagi menjamin pekerjaan tetap dan bermartabat. Ribuan lulusan baru mengantri program magang yang hanya menawarkan status sementara dan gaji setara UMP. Data BPS 2025 menunjukkan ada 3,86 juta pengangguran terbuka, dan lebih dari satu juta di antaranya adalah lulusan diploma serta sarjana. Artinya, pendidikan tinggi tidak membawa mereka pada posisi produktif, melainkan hanya pada kompetisi untuk menjadi buruh magang.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang menciptakan pengangguran secara struktural. Kekayaan negeri yang melimpah justru dikuasai segelintir elit. Laporan Credit Suisse menyebut 1% orang kaya menguasai lebih dari 50% kekayaan Indonesia, sedangkan mayoritas rakyat hanya memegang 5% kekayaan. Negara tidak bertindak sebagai pelindung rakyat, melainkan menjadi fasilitator investasi yang mempermudah masuknya korporasi besar, termasuk asing, untuk menguasai sektor strategis seperti tambang. Industri yang meraup laba triliunan itu hanya menyerap tenaga kerja dalam jumlah kecil demi efisiensi demi keuntungan investor.
Dalam logika kapitalisme, semakin banyak cadangan buruh, semakin mudah upah ditekan. Program magang massal justru menjadi cara baru untuk menormalisasi tenaga kerja murah tanpa komitmen kesejahteraan jangka panjang. Contohnya, program magang nasional yang langsung diserbu lebih dari 200 ribu pelamar hanya dalam hitungan hari. Banyak perusahaan membuka slot magang dengan gaji yang tampak menggoda, tetapi tetap tanpa kepastian status. Negara pun lebih berperan sebagai penghubung antara rakyat miskin dan perusahaan kaya, alih-alih memikirkan distribusi kekayaan agar rakyat mandiri.
Islam menawarkan pendekatan yang sangat berbeda dalam mengelola ekonomi dan tenaga kerja. Dalam pandangan Islam, negara bukan hanya regulator, tetapi pengurus yang bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan umat. Negara tidak cukup hanya membuka pelatihan atau lowongan kerja, tetapi wajib memastikan rakyat memiliki akses langsung terhadap sumber kehidupan seperti tanah, tambang, lahan produktif, dan sumber daya alam. Rasulullah dan para khalifah memberikan contoh nyata melalui kebijakan distribusi sumber daya (iqtha’) agar rakyat tidak hanya menjadi pekerja upahan, tetapi memiliki basis produksi sendiri.
Rasulullah ﷺ:
«الإمام راعٍ وهو مسؤول عن رعيته»
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam melarang kepemilikan swasta atas sumber daya strategis. Jika kekayaan alam dikelola negara dan hasilnya masuk ke Baitul Mal, rakyat akan mendapatkan manfaat langsung melalui pembukaan lapangan kerja produktif dan distribusi kekayaan yang lebih adil. Sejarah mencatat, dalam masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, kas negara mengalami surplus emas yang luar biasa besar karena sistem distribusi yang adil. Bandingkan dengan kondisi sekarang di mana APBN Indonesia justru defisit dan mengandalkan utang luar negeri yang berbunga.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
«المسلمون شركاء في ثلاث: الماء والكلأ والنار»
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud)
Islam juga menegaskan bahwa harta tidak boleh hanya berputar di kalangan kaya. Oleh karena itu, fokus politik ekonomi Islam bukan pertumbuhan semu seperti kapitalisme, tetapi pemerataan akses terhadap kekayaan. Negara dalam Islam bukan calo tenaga kerja, tetapi pemberi akses produksi. Dengan rakyat memiliki tanah, alat produksi, dan sumber daya, mereka tidak lagi menggantungkan nasib pada lowongan kerja atau program magang yang sifatnya sementara.Prinsip ini ditegaskan pula dalam Al-Qur’an:
﴿كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ﴾ “
agar harta itu tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS. Al-Hasyr: 7)
Kesimpulannya, magang berbayar bukan solusi hakiki. Ia hanya menambal luka yang ditimbulkan oleh sistem kapitalisme. Islam datang bukan untuk memperbaiki sistem tambal sulam itu, tetapi untuk menggantinya dengan sistem yang memastikan martabat, kemandirian, dan pemerataan akses kekayaan bagi seluruh rakyat. Dengan sistem Islam, generasi muda tidak disiapkan hanya untuk menjadi buruh patuh, tetapi menjadi penjaga peradaban dan pengelola kekayaan umat.