Pemutihan Tunggakan BPJS, Tak Seputih Harapan Sehat

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
LenSaMediaNews.Com–Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti menyebut sebanyak 23 juta peserta masih menunggak iuran dengan total nilai menembus lebih dari Rp 10 triliun. Pemerintahpun menyiapkan skema pemutihan agar peserta yang tidak mampu dapat memulai kembali kepesertaan tanpa terbebani utang lama (kompas.com,20-10-2025).
Negara Berbisnis, Nasib Rakyat Kian Miris
Seolah angin segar, utang lama dibebaskan, artinya beban sedikit ringan. Namun ternyata, di iuran mendatang rakyat masih tetap diwajibkan bayar. Ibarat beli BBM di SPBU, petugas mengatakan dimulai dari nol, itungan selanjutnya bayarlah sesuai kebutuhan.
Skema pembiayaan kesehatan melalui BPJS Kesehatan ini dipilih negara dengan alasan sesuai dengan budaya bangsa yaitu gotong royong. Rakyat dibius dengan jargon, yang kuat membantu yang lemah, yang sehat menolong yang sakit.
Padahal, BPJS Kesehatan adalah bukti lalainya pemerintah mengurusi kesehatan rakyatnya. Akibat dana yang kurang, maka tanggungjawab dialihkan kepada rakyat dengan menggandeng pihak ketiga sebagai pengurus.
Tak ada jaminan riil sebagaimana singkatan kata BPJS itu sendiri, sebab faktanya BPJS hanyalah badan penyelenggara, bukan pihak yang riil memiliki uang yang ia jadikan jaminan kesehatan setiap individu rakyat. BPJS hanya pencatat, uang milik pembayar premi, tapi diakui sebagai uang BPJS. Penerima klaim BPJS juga belum tentu memiliki jumlah premi sebesar biaya pengobatannya, artinya ia utang. Padahal di awal akad, premi bukan utang piutang.
Sebagaimana peristiwa pada masa Rasûlullâh Saw, ketika hendak mensalati jenasah seseorang, beliau bertanya,” Apakah orang ini meninggalkan sesuatu?” orang-orang yang membawa jenasah itu mengatakan,” Tidak”. Rasulullah bertanya lagi,” Apakah ia mempunyai utang?”. Mereka menjawab, “ Tiga Dinar”. Rasulullah kemudian menjawab,” Kalau begitu, silahkan kalian saja yang menyalati”. Seseorang dari Kaum Anshar bernama Abu Qatadah kemudian berkata, “Ya Rasûlullâh salatkanlah jenasah ini dan akulah orang yang akan memikul dan bertanggungjawab atas utangnya” (HR. Bukhari dan Ahmad).
Meski ini terjadi pada jenasah, namun inilah makna sebenarnya dari fakta jaminan, yang itu tidak ada pada BPJS Kesehatan. Individu rakyatlah yang diwajibkan membayar sejumlah premi setiap bulannya. Sakit atau sehat, ketika ia tidak pernah sakit, maka uang yang ia bayarkan tidak pernah bisa ia klaim sebagaimana tabungan. Uang itu oleh BPJS diputar untuk pembayaran nasabah BPJS yang lain. Padahal secara akad, tidak ada menyebutkan bahwa uang yang disimpan oleh A akan digunakan oleh B.
Bukankah ini gotong royong yang dipaksakan? Belum lagi di akad awal, semua peserta wajib menyetujui jika ada penunggakan pembayaran premi akan diberi pinalti dan sanksi administrasi. Inilah mengapa penunggakan terjadi, karena memang zalim. Keuangan rakyat tak sama, bagi yang benar-benar miskin, gaji dibawah UMR, masih diwajibkan bayar berbagai kebutuhan pokok dan biaya lainnya, seperti listrik, air, sekolah hingga pajak jelas akan habis sebelum ia bisa bayar premi.
BPJS bak simalakama, diambil tidak sesuai syariat, jika tidak diambil, biaya kesehatan tanpa BPJS sangatlah mahal. Semakin berat sakit, semakin canggih teknologi yang dibutuhkan maka biaya yang harus dikeluarkan juga semakin besar.
Kesehatan Adalah Hal Rakyat, Tanpa Kecuali
Pemutihan tunggakan tidak menjadikan pelayanan kesehatan rakyat semakin baik. Sebab, ketika utang itu sudah tidak ada, ke depannya rakyat tetap wajib bayar premi lanjutan jika ia masih ingin mendapatkan pelayanan kesehatan. Sadis!
Dalam Sistem kapitalisme, jaminan kesehatan oleh negara berkualitas, murah bahkan gratis adalah mustahil, sebab kedudukan negara bukan periayah ( pelayan dan pengurus rakyat) melainkan pengusaha yang menghitung untung rugi dengan rakyat. Kesehatan adalah komoditas.
Jika pun ada rakyat yang mendapatkan gratis tidak untuk seluruh rakyat, jumlah yang sangat sedikit, dan itu pun dengan birokrasi yang ruwet. Sadisnya, Sistem Kapitalisme memaksa negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, pembuat kebijakan untuk pihak ketiga agar mereka bisa mengelola usaha mereka dengan nyaman dan aman.
Bahkan untuk Rumah Sakit milik negara sekalipun, ditetapka aturan sebagai Badan Layanan Umum (BLU) yang harus membiayai dirinya sendiri dengan mencari keuntungan (bisnis), tak ubahnya dengan rumah sakit swasta.
Jelas ini bertentangan dengan makna pemimpin dalam Islam, Rasulullah Saw bersabda, “Seorang imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya.” [HR. Bukhari dan Muslim]. Negara wajib menjamin kesehatan rakyat tanpa syarat. Pada masa Rasulullah, beliau pernah menyerahkan seorang dokter hadiah dari Raja Mesir kepada Rakyat. Artinya, itulah tindakan nyata seorang pemimpin negara.
Bahkan lebih totalitas lagi negara wajib membangun rumah sakit, laboratorium, perpustakaan, sekolah dokter dan tenaga kesehatan, pengembangan teknologi kesehatan dan semua sarana dan prasarana yang berkaitan dengan kesehatan agar semua bisa berkontribusi kepada kemajuan kesehatan dan jaminan semua individu rakyat menjadi sehat.
Sejarah mencatat, rumah sakit yang melayani rakyat secara gratis. Di antaranya adalah Al-Walid bin Abdul Malik, khalifah ke-6 dari Dinasti Bani Umayyah (705-715 M). Beliau mendirikan Bimaristan pertama berskala besar di Damaskus yang menyediakan rawat inap, termasuk perawatan jiwa secara gratis dan dibiayai negara.
Model layanan kesehatan seperti inilah yang dibutuhkan rakyat karena gratis dan tidak khawatir akan tunggakan biaya kesehatan. Rakyat sehat akan terwujud nyata dalam naungan Khilafah Islam. Skema pembiayaan melalui Baitulmal yang mampu menjadikan negara mandiri dan berdaya tanpa butuh investasi asing berbasis riba, utang luar negeri maupun pajak. Wallahualam bissawab. [LM/ry].