Genosida di Sudan dan Jejak Dukungan UEA

Genosida di Sudan

Oleh: Keke Nurhabibah

Lensamedianews.com, Opini —Konflik di Sudan kembali menjadi sorotan dunia. Di tengah krisis kemanusiaan yang belum reda, muncul tudingan bahwa Uni Emirat Arab (UEA) turut mendanai dan mempersenjatai kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pihak yang dituduh melakukan aksi genosida terhadap etnis Masalit di wilayah Darfur.

Laporan investigasi terbaru Middle East Eye (Oktober 2025) menyebut, UEA diduga mengirim drone buatan Tiongkok dan peralatan militer canggih ke RSF. Tuduhan serupa juga disampaikan oleh panel ahli PBB yang menemukan “bukti kredibel” adanya suplai senjata dari luar negeri.

Kengerian di Darfur bukan hal baru. Namun yang lebih memilukan adalah ketika darah rakyat sipil justru menjadi taruhan dalam permainan geopolitik dan bisnis senjata antarnegara.

Sudan sempat menggugat UEA ke Mahkamah Internasional (ICJ) atas pelanggaran Konvensi Genosida. Namun, ICJ menolak kasus tersebut karena alasan yurisdiksi. Alhasil, jutaan warga sipil kini menjadi korban tanpa ada kepastian hukum bagi para pelaku maupun pihak yang mendanai kekerasan.

Ini menunjukkan kelemahan sistem hukum internasional yang sering tumpul terhadap negara kuat dan tajam terhadap negara lemah. Ketika kepentingan ekonomi dan politik menjadi panglima, kemanusiaan justru dikesampingkan.

Tragedi di Sudan bukan hanya masalah lokal, namun dampaknya meluas. Ratusan ribu korban jiwa, jutaan pengungsi yang kehilangan rumah dan keluarga. Krisis pangan dan kesehatan yang memburuk akibat blokade dan pertempuran.

Citra dunia Islam kembali tercoreng, karena ada negara Muslim yang justru diduga mendukung pihak penindas. Lebih dari itu, umat Islam kehilangan wibawa sebagai pembela kemanusiaan. Ketika negeri-negeri muslim sibuk dengan urusan masing-masing, rakyat Sudan harus berjuang sendirian menghadapi bencana yang seharusnya menjadi kepedulian bersama.

Tragedi Sudan menegaskan satu hal penting, yakni dunia Islam kehilangan pelindung sejati. Tidak ada satu pun negara Muslim yang berani bertindak tegas membela umat tertindas tanpa kepentingan politik tertentu.

Padahal, Islam telah mengatur sistem pemerintahan yang menyatukan kekuatan umat dalam satu kepemimpinan global Khilafah. Di bawah kepemimpinan seperti ini, keadilan tidak hanya menjadi slogan, tapi dijalankan secara sistemik.

Khilafah menyatukan potensi ekonomi, militer, dan diplomasi umat Islam untuk menghentikan kezaliman. Menolak segala bentuk kolaborasi dengan pihak yang menumpahkan darah manusia tanpa hak. Menghadirkan kebijakan luar negeri yang berorientasi pada perlindungan manusia, bukan keuntungan segelintir elite.

Khilafah bukan sekadar simbol, tetapi sistem yang mampu menegakkan keadilan, menolong yang lemah, dan menjadi penengah di tengah konflik global sebagaimana pernah dilakukan oleh peradaban Islam berabad-abad lamanya.

Sudan hari ini adalah cermin dari rapuhnya dunia yang dipimpin oleh sistem kapitalistik dan politik kekuasaan. Selama orientasi kebijakan masih tunduk pada kepentingan ekonomi dan bukan kemanusiaan, tragedi seperti Darfur akan terus berulang hanya berganti nama dan tempat.

Sebagai umat Islam, kita tidak boleh diam. Doa saja tidak cukup. Diperlukan kesadaran kolektif untuk menegakkan kembali sistem Islam kaffah yang menjamin keadilan dan melindungi setiap manusia.

Sudan menunggu suara kita. Dunia menanti hadirnya kepemimpinan yang benar-benar berpihak pada kehidupan dan kemanusiaan bukan pada bisnis perang. [LM/Ah]