Stiker Miskin Memangkas Angka Kemiskinan?

Stiker Miskin

Oleh Lulu Nugroho

 

LensaMediaNews.com, Opini_ Seharusnya jawabannya tidak. Tak mungkin hanya karena sehelai stiker, bisa memangkas angka kemiskinan. Namun fenomena yang terjadi baru-baru ini, tampak sangat mengejutkan. Sebanyak 500 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Bantuan Sosial (bansos) di Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, akhirnya mengundurkan diri sejak rumah mereka dipasangi stiker. Untuk sementara, cara ini dianggap efektif mengeliminasi orang mampu yang mengaku miskin, agar Bansos dapat dialihkan pada penerima lain yang dianggap layak seperti yatim piatu, disabilitas, atau keluarga miskin lainnya. (Pikiranrakyat.com, 2/11/2025)

 

Di beberapa wilayah di tanah air, stiker merah berukuran 40 cm x 50 cm, dengan huruf tebal bertuliskan ‘Keluarga Miskin’ kembali dipasang pada rumah-rumah warga PKH penerima bansos. Menurut Pemda setempat, pemasangan stiker sebagai bentuk edukasi dan sosialisasi, kepada mereka yang masih merasa miskin padahal memiliki mobil dan motor serta bangunan rumah permanen berlantai keramik. Tentu hal tersebut membuat Pemda kewalahan dan tak mampu mendeteksi warga yang riil miskin yang dianggap tepat menerima Bansos

 

Pemda wilayah lain masih menimbang-nimbang apakah akan melakukan hal serupa atau tidak. Pasalnya ada sisi positif dari pemasangan stiker tadi, dan ada sisi negatifnya. Sisi positifnya, keluarga miskin jadi-jadian dengan sendirinya ke luar dari daftar penerima Bansos. Sedangkan sisi negatifnya adalah, masyarakat yang benar-benar miskin dan layak dibantu, seolah terekspos, dan tentu membuat malu yang bersangkutan.

 

Namun demikian, nampaknya stiker ini berhasil menurunkan ‘angka kemiskinan’ dalam tempo secepat-cepatnya. Data di Pemda otomatis menurun karenanya, tetapi bukan karena ekonomi membaik atau terobosan ekonomi yang dilakukan pemerintah, melainkan karena rakyat menolak dianggap miskin. Hebatnya, setelah stiker terpasang, beberapa keluarga otomatis sadar diri bahwa lebih baik tak menerima Bansos, ketimbang malu.

 

Stiker ini ditempel di pintu atau jendela, terlihat oleh siapapun yang melintas di sana. Begitu stiker merah itu ditempel di rumah warga, spontan mereka merasa status sosialnya merosot. Ada yang melepasnya diam-diam tengah malam, ada pula yang marah kepada petugas. Ratusan keluarga di Kepahiang sepakat menolak status miskin, dan berbondong-bondong ke kantor Dinsos untuk mengundurkan diri dari daftar penerima bantuan. Alasannya sederhana, gengsi. Mereka lebih rela hidup pas-pasan dari pada disorot tetangga. Tercapai sudah tujuan pemasangan stiker tersebut, yaitu agar masyarakat ikut mengawasi siapa yang benar-benar layak dapat bantuan.

 

Sekularisme dengan asas pemisahan agama dari kehidupan (fashludin anil hayah) telah membentuk masyarakat yang jauh dari ketakwaan. Hal itu menimbulkan banyak masalah, termasuk dalam penyaluran bansos: ada data ganda, penerima fiktif, ada masyarakat yang rela mengaku miskin demi mendapat Bansos atau oknum pemerintah yang mengubah data atau menyelewengkan bantuan, untuk pihak tertentu yang dianggap perlu. Begitu pula halnya dengan penguasa hari ini, sekularisme mempengaruhi kepemimpinan yang tak sungguh-sungguh mengakomodir urusan rakyatnya. Alhasil Bansos menjadi salah satu program populis untuk mendulang suara di periode pemilihan berikutnya.

 

Dari problematika yang muncul tadi, maka penempelan stiker menjadi solusi pragmatis, yang cepat meminimalisir penyimpangan dan mendorong kesadaran publik. Sebab dengan adanya penanda, masyarakat dapat mengawasi dan mengkritisi langsung. Kontrol sosial terbukti ampuh menopang tegaknya sebuah pemahaman tertentu. Maka masyarakat pun perlu memiliki tolok ukur yang benar, yang bersandar pada halal-haram, agar mampu menghukumi fakta yang berkelindan di sekitar mereka. Hingga aktivitas kontroling atau muhasabah yang dilakukan, semata-mata untuk menegakkan hukum Allah.

 

Di banyak budaya lokal, menjadi miskin dianggap bukan hanya kekurangan materi, tetapi kehilangan kehormatan. Ketika rumah seseorang diberi tanda “Keluarga Miskin,” yang tersentuh bukan lagi logika, melainkan gengsi sosial. Bagi sebagian warga, tulisan itu bukan sekadar label melainkan posisi sosial di mata tetangga. Kita bersyukur bahwa di negeri ini, harga diri masih lebih mahal dari harga beras.

 

Maka perlu mengembalikan kehidupan ini berjalan sebagaimana Allah mengaturnya. Ketaatan dan ketakwaan seyogianya menjadi sandaran aktivitas manusia, sehingga para pemimpin hingga rakyat jelata, takut bermaksiat kepada Allah SWT.

 

Tak cukup hanya stiker, tetapi negara wajib menerapkan hukum Allah secara keseluruhan, dan memastikan setiap warga terjamin haknya. Dengan penerapan
sistem ekonomi Islam maka terwujudnya  kesejahteraan bagi seluruh rakyat, akan menjadi sebuah keniscayaan. Bukan hanya masyarakat miskin saja yang perlu mendapat perhatian, pun bukan para kapital, melainkan setiap individu diriayah oleh negara.

 

Saat roda perekonomian berputar dengan  keberpihakan kepada rakyat, maka seluruh persoalan ekonomi seperti tidak meratanya distribusi kekayaan, merebaknya kemiskinan, PHK, dan penyebab lainnya yang  menjadikan masyarakat melakukan segala cara untuk menambah finansial, akan sirna.

 

Hasil pengelolaan sumber daya alam, dikembalikan kepada rakyat, bukan kepada asing atau swasta. Sebab sejatinya sumber daya alam merupakan kepemilikan umum (milkiyah am) yang menjadi hak rakyat. Dengan sistem ekonomi Islam, tak akan sulit masyarakat negeri ini ke luar dari jerat kemiskinan. Bahkan bisa jadi mereka tak membutuhkan Bansos lagi, karena  seluruh kebutuhan dasar telah diakomodir oleh negara.

 

Mental rakyat pun bukan mental pecundang, melainkan pejuang yang siap berkorban di jalan dakwah Islam. Kehidupan akan dinaungi suasana keimanan hingga seseorang akan malu melakukan tipu-tipu meski tanpa pemasangan stiker. Inilah sebaik -baik kehidupan yang menjadikan seluruh manusianya berkualitas, dan mampu membentuk peradaban gemilang. Tsumma takuunu khilafatan ala minhajin nubuwwah.