Judol Pinjol Perangkap Generasi Emas

Oleh : Eni Imami, S.Si, S.Pd
Pendidik dan Pegiat Literasi
LenSaMediaNews.Com–Seorang Siswa SMP di Kokap, Kulon Progo DIY, tidak masuk sekolah selama sebulan terakhir. Setelah ditelusuri ternyata ia tak mampu melunasi utang pada teman-temannya, sebesar Rp4 juta. Utang itu dilakukan untuk melunasi pinjol, akibat kecanduan judol (tirto.id, 29-10-2025).
Judol dan pinjol ibarat lingkaran setan, kini menjerat kalangan pelajar yang notabene generasi emas untuk Indonesia emas 2045. Dikutip dari tirto.id, 29 Oktober 2025, pada November 2024, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap ada 200 ribu pelajar berusia dibawah 19 tahun terindikasi terpapar judol. Sekitar 80 ribu pelajar itu berusia di bawah 10 tahun.
Negara Gagal Memberikan Perlindungan
Fenomena anak-anak sekolah kecanduan judol, kemudian terjerat pinjol adalah alarm keras bagi pemerintah. Sebenarnya negara sudah memiliki regulasi yang melarang judol dan pinjol. Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa segala bentuk perjudian, baik konvensional maupun digital, adalah ilegal dan diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp25 juta.
Namun, pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Negara hanya berperan sebagai regulator, yaitu pembuat regulasi. Setelah regulasi ada, seolah-olah tugas pemerintah sudah cukup, tanpa ada upaya pemberantasan hingga tuntas. Segala upaya Kemenkomdigi untuk menutup konten judol, nyatanya makin tumbuh subur, ibarat mati satu tumbuh seribu.
Jika ditelisik secara mendalam ada beberapa faktor penyebab kegagalan negara melindungi rakyatnya dari jerat judol dan pinjol. Pertama, negara tidak menyadari bahwa akar masalah merebaknya judol dan pinjol adalah penerapan Sistem Kapitalisme, bukan sekadar efek samping perkembangan teknologi digital. Sistem Kapitalisme menghalalkan segala cara untuk menghasilkan uang.
Para pelaku industri judol secara sadar merancang tampilan sehingga mirip dengan gim yang disukai anak-anak. Akhirnya mereka tertarik hingga kecanduan, dan menjadi pelanggan tetap. Demikian juga dengan pinjol, iklannya menarik, mudah diakses dan cepat dalam melakukan transaksi.
Kedua, sistem pendidikan saat ini telah gagal mewujudkan generasi emas berkepribadian Islam. Penerapan kurikulum sekularisme-kapitalistik menjadikan belajar sekadar untuk ujian, setelah lulus berharap cepat bekerja dan menghasilkan uang. Aspek akidah dan ketaatan pada syariat tidak menjadi hal utama dalam pendidikan. Alhasil, jadilah generasi yang kapitalistik mudah terbawa arus informasi, terlebih pada era digitalisasi.
Ketiga, dari sisi keluarga. Banyak orang tua yang abai terhadap anaknya. Fenomena fatherless dan motherless menjadikan anak tumbuh dan berkembang tanpa dekapan kasih sayang, ironinya ditemani media digital yang memberikan kebebasan berselancar. Tanpa ada kontrol, akhirnya terjerat judol dan pinjol.
Selama sistem sekularisme-kapitalistik masih dianut oleh negara, akan sulit membasmi segala tindakan kemaksiatan, termasuk judol dan pinjol. Hal ini harus dievaluasi untuk mencari sistem yang mampu menjadi solusi. Sistem itu tidak lain adalah Islam, sistem yang berasal dari Allah SWT yang Maha Mengatur kehidupan.
Islam Menyelesaikan Judol dan Pinjol Secara Fundamental
Islam melarang keras judol dan pinjol. Hukumnya haram, baik legal maupun ilegal. Itu dijelaskan dalam firman Allah SWT pada Qs. Al-Maidah : 90, yang artinya,“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” Allah SWT juga berfirman dalam Qs. Al-Baqarah 275, “Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Syariat tersebut harus ditanamkan sejak dini dalam pengasuhan orang tua, khususnya ibu sebagai pendidik pertama dan yang utama mengajarkan tentang haram dan halal. Ibu dapat fokus mengasuh anak di rumah, karena negara akan menjamin kesejahteraan keluarganya.
Sistem Pendidikan Islam juga menjadi kunci terwujudnya generasi yang berkarakter mulia serta memiliki keterampilan untuk menghadapi tantangan zaman. Dengan pendidikan berasaskan akidah Islam akan melahirkan generasi unggul calon pemimpin bangsa yang bertakwa.
Terkait gim online, meski hukum asalnya mubah, negara akan melarang peredarannya jika membawa keburukan. Selain itu, negara menerapkan sanksi tegas (takzir) terhadap pelaku judol, bandar judol, dan pemilik usaha pinjol. Anak-anak (belum balig) yang terjerat judol tidak dihukum, tetapi diberikan pembinaan. Negara memanggil orang tuanya dan memberi sanksi karena telah melalaikan pendidikan anak. Demikianlah sistem Islam menyelesaikan judol dan pinjol secara fundamental. Wallahualam bissawab. [LM/ry].
