Balada Negeri yang Krisis Kedaulatan

Oleh: Elis Sulistiyani
LenSaMediaNews– Narasi Impor sampah di negeri ini kembali berulang. Sampah impor menumpuk di penjuru negeri. Seperti dilansir laman media Inews.id.com (19/6), tumpukkan sampah kertas yang diimpor oleh sebuah perusahaan kertas sebagai bahan baku kertas di Mojokerto, Jawa Timur.
Berdasarkan data lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah Ecoton, masuknya sampah dengan merk dan lokasi jual di luar Indonesia, diduga akibat kebijakan China menghentikan impor sampah plastik dari sejumlah negara di Uni Eropa dan Amerika yang mengakibatkan sampah plastik beralih tujuan ke negara-negara ASEAN. Ecoton menemukan, ada volume impor kertas bekas 739 ribu ton per tahun 2018 dibandingkan jumlah impor 546 ribu ton pada 2017 untuk bahan baku pabrik ketas di Jawa Timur.
Aroma kapitalis pun semakin menyeruak, pengolahan sampah Amerika Serikat berbiaya 90 dolar AS per satu bongkah besar sampah plastik. Sedangkan di Indonesia harganya hanya 30 dolar untuk ukuran yang sama.
Masalah lain, Prigi, selaku Direktur eksekutif Ecoton menyampaikan kebijakan internal Indonesia yang belum memiliki regulasi yang memadai untuk menegaskan sampah atau plastik apa saja yang boleh diimpor dan hal ini menjadi celah yang dimanfaatkan oleh eksportir. Selain itu pemerintah yang tak mau disalahkan perihal ini berlindung dibalik tameng Permendag No. 31/2016 : Kemendag mengizinkan impor sampah dipakai untuk pembuatan kertas dan pulp. Jika pemanfaatan sampah impor tersebut memang untuk pembuatan kertas maka seharusnya tidak ada sampah plastik dalam sampah impor itu (Tirto.id).
Dari sini nampak begitu lemahnya posisi Indonesia dalam kancah perpolitikan internasional. Segala bentuk regulasi yang lahir dari demokrasi dibuat hanya untuk keuntungan oligarki kekuasaan, tanpa memandang kesejahteraan bagi rakyatnya. Akhirnya kita hanya menampung kebobrokan, kebodohan, dan keburukan lainnya sebagai hasil dari demokrasi yang kian hari kian dekat dengan kehancuran.
Sangat disayangkan saat ini urusan masyarakat Internasional termasuk Indonesia didominasi oleh kekuatan-kekuatan kolonialis, yaitu negara-negara Kapitalis yang terus-menerus memperkuat cengkramannya dan menciptakan berbagai konfik di berbagai belahan dunia.
Jika saat ini peradaban barat seolah begitu diagungkan, maka ini sangat berbeda dengan masa lampau dimana Barat berada dalam masa kegelapannya maka di masa yang sama Islam tengah berada dalam masa keemasannya. Hal ini sebagaimana disampaikan Lavis dan Rambou dalam karya sejarahnya.
Dikatakan bahwa di Eropa pada abad ke-7 M hingga sesudah abad ke-10 M seperti di Inggris Anglo-Saxon merupakan negeri yang tandus, terisolir kumuh dan liar. Mereka tidak mengenal kebersihan, kotoran hewan dan sampah dibuang di depan rumah sehingga menyebarkan bau busuk yang menyengat. Kota terbesar di eropa pada waktu itu berpenghuni tidak lebih dari 25.000 orang.
Di masa yang sama, Islam pada masa Bani Umayyah menjadikan Cordoba menjadi ibukota Andalus yang muslim. Kota ini dikelilingi dengan taman-taman hijau. Lorong-lorongnya dialasi batu ubin, dan sampah-sampah disingkirkan dari jalan-jalan.
Dalam bidang kesehatan, pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi membangun sistem pengolahan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran individu. Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan yang difasilitasi negara.
Selain itu Islam menjaga kewibawaan suatu negeri. Seperti halnya pada era khilafah adalah masa dimana dunia Islam mendapatkan perlakuan istimewa dari berbagai pihak. Pernah suatu ketika Raja Spanyol Kristen, Ardoun Alfonso pada tahun 351 H berkunjung kepada Khalifah Al-Mustanir. Melihat bagaimana peradaban Islam waktu itu, tatkala menghadap khalifah, Alfonso bersujud berulang-ulang sampai berdiri tegak dihadapan Khalifah, kemudian membungkuk untuk mencium tangan Khalifah. Hal ini mengisyaratkan bagaimana kewibawaan peradaban Islam kala itu.
Sebagai negara yang berdaulat, Khilafah juga membatasi hubungan kerja sama dengan negara asing dengan membaginya pada dua kategori.
Pertama, negara kafir yang sudah jelas menyerang umat Islam maka tidak ada hubungan yang diperbolehkan kecuali perang.
Kedua, negara kafir yang tidak memerangi umat Islam diperbolehkan menjalin hubungan perjanjian. Dengan ketentuan perjanjian yang sesuai syariat, sambil terus mengamati skenario politik Internasional, khilafah diperbolehkan menerima atau menolak perjanjian demi kepentingan dakwah Islam.
Demikianlah daulah Islam menjaga kehormatan dan kewibawaannya. Mereka yang menerapkan Islam kaffah tak akan tunduk pada siapapun yang merongrong apalagi menjatuhkan wibawa negara. Kebijakan mereka tak akan diintervensi atau berkompromi dengan siapapun yang akan menjatuhkan Islam. Justru yang hadir adalah kesejahteraan sebagai hasil kepatuhan seorang hamba kepada Rabbnya.
[Lm/Hw/Fa]