Bedah Rumah, Mengapa Bantuan dan Bukan Jaminan?

20250109_181722

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban

 

LenSa Media News.com, Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Pasuruan, Kokoh Arie Hidayat mengungkapkan, Pemkot mendapatkan jatah dari Kemensos bagi rumah tangga miskin ekstrem berupa program rehab rumah sederhana terpadu (radarbromo.jawapos.com, 7-1-2026).

 

Ada enam warga Kota Pasuruan yang masuk kategori miskin ekstrem dan beruntung terpilih untuk rumahnya direhab. Setiap Kepala Keluarga (KK) menerima bantuan rehab rumah senilai Rp 20 juta

 

Arie menjelaskan, penerima program ini, harus memenuhi sejumlah persyaratan. Diantaranya, masuk masyarakat miskin ekstrem, masuk Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan status kepemilikan rumah jelas. Jika rumah masih sengketa, tentu tidak bisa dapat bantuan. Dalam hal ini Dinsos bekerja sama dengan Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) untuk membuat Rencana Anggaran Belanja (RAB).

 

Bak Reality Show, Rakyat Dibedah Rumahnya

 

Kementerian PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) juga memiliki program yang sama yang disebut program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). Pada tahun 2024, 83.000 rumah tidak layak huni sudah dibedah dengan menghabiskan anggaran Rp1,83 triliun.

 

Juru bicara Kementerian PUPR Endra S Atmawijaya mengatakan dari total Rp 1,83 triliun, dibagi Rp 20 juta per rumah, Rp17,5 juta, untuk material dan Rp2,5 juta untuk upah pekerja. Agar tepat sasaran, anggaran ini tidak diberikan berupa uang, namun pemilik rumah bisa membeli material bangunan yang dibutuhkan di toko bangunan yang telah ditunjuk oleh Kementerian PUPR.

 

Sebab program ini sudah bekerja sama dengan berbagai stakeholder perumahan dan perusahaan. Seperti antara Ditjen Perumahan, Ditjen Ciptakarya dan Perusahaan Semen serta Perusahaan material lainnya (rri.co.id, 24-8-2024).

 

Selain Kementerian PUPR, Kementerian Sosial Republik Indonesia melalui Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, juga memberikan program bedah rumah berupa bantuan sebesar Rp 40 juta untuk satu keluarga, yang lolos evaluasi (persinggahan.desa.id, 4-4-2024).

 

Sekilas kerja beberapa kementerian ini terlihat baik. Bedah rumah, bak reality show di televisi, mimpi menjadi kenyataan. Rumah rakyat yang awalnya tak layak huni kemudian dibedah dan menjadi lebih baik. Pertanyaannya mengapa dalam bentuk bantuan dan bukan jaminan? Apalagi dengan syarat yang ketat, yaitu miskin ekstrem, kemudian diproyekkan kepada toko bangunan atau perusahaan material lainnya. Apakah yang bukan miskin namun rumahnya tak layak tak berhak dibedah rumahnya?

 

Kebijakan pemerintah sejauh ini belum menunjukkan keseriusan, semisal program Tapera, pembangunan rumah susun atau petak yang kurang layak, dengan membesarkan jargon gotong royong dan subsidi.

 

Kapitalisasi Perumahan Buat Negara Tak Berdaya

 

Inilah kebijakan tambal sulam ala sistem Kapitalisme. Meski bagian dari kebutuhan pokok rakyat yang harus dijamin negara, tetap kapitalisme memaksa pemerintah untuk membebaskan pengaturan kepada pemilik modal. Alasan klasiknya adalah kurangnya modal, teknologi dan profesionalitas.

 

Akibatnya, berbagai bidang strategis dikuasai secara legal oleh pengusaha, seperti bahan material rumah, kayu, tanah, besi, muamalah properti berbasis riba, hingga atribut pengisi rumah. Faktor-faktor inilah yang semakin membuat harga rumah melambung, tak terbeli, di sisi lain masyarakat dihadapkan pada biaya hidup yang tinggi pula akibat adanya kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen.

 

Islam Sistem Aturan Terbaik Sejahterahkan Umat

 

Padahal, dalam Islam, penguasa adalah Raa’in atau pengurus rakyat dengan berlandaskan hukum syarak, haram hukumnya terus menerus menempatkan rakyat dalam kesulitan bahkan membahayakan. Rasulullah saw., “Imam adalah pelayan dan ia bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya,” (HR Imam Bukhari).

 

Negara tidak boleh melakukan pemupukan dana yang dihimpun dari rakyat lalu didepositokan atau diinvestasikan di pasar modal yang kemudian digunakan untuk pembiayaan rumah rakyat, juga tidak boleh utang atau penarikan pajak kepada seluruh rakyat. Semua pendanaan negara wajib berbasis Baitulmal.

 

Negara dibolehkan memberikan tanah miliknya (kepemilikan negara) kepada rakyat miskin secara cuma-cuma untuk dibangun rumah. Negara tidak sembarangan menetapkan tanah mana untuk Proyek Strategis Nasional (PSN), sebagaimana Umar bin Khattab yang membatalkan pembangunan masjid hanya karena ada satu wanita Yahudi yang tak ingin pindah rumah namun rumahnya masuk dalam area PSN.

 

Negara melarang penguasaan tanah oleh korporasi karena hal itu akan menghalangi negara dalam proses penjaminan ketersediaan lahan untuk perumahan. Bagi rakyat miskin yang memiliki rumah, tetapi tidak layak huni dan mengharuskan direnovasi, maka negara harus melakukan renovasi langsung dan segera, tanpa melalui operator (bank-bank penyalur maupun pengembang-penj.) dan tanpa syarat yang rumit sehingga hasilnya bisa langsung dirasakan oleh rakyat miskin. Tidakkah kita merindukan pengaturan yang sedemikian manusiawi? Wallahu a’lam bissawab. [ LM/ry ].