BSKM, Harapan Baru dari Gagalnya Sistem?

Oleh: Zahida Ar-Rosyida
Aktivis Muslimah Banua
LenSaMediaNews.Com–Pendidikan sering disebut sebagai kunci peradaban, fondasi masa depan, bahkan jalan menuju kemajuan. Tapi di balik semua slogan itu, kita dihadapkan pada kenyataan yang jauh dari ideal. Banyak anak yang bukan hanya kehilangan semangat belajar, tapi juga kehilangan kesempatan untuk bermimpi. Di negeri yang katanya merdeka ini, tak sedikit yang harus berhenti sekolah, bukan karena malas, tapi karena hidup terlalu berat untuk usia mereka.
Dan ini bukan sekadar cerita di balik data. Ini potret nyata dari sistem yang gagal menunaikan hak dasar rakyatnya. Kasus tingginya angka Anak Tidak Sekolah (ATS) dan putus sekolah di Kalimantan Selatan (Kalsel) bukan urusan administratif, melainkan cermin dari rapuhnya struktur sosial dan ekonomi yang tak berpihak pada kaum lemah.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan memang telah berupaya. Melalui program Bantuan Siswa Kurang Mampu (BSKM), sebanyak 10.030 pelajar SMA/SMK menerima bantuan senilai sekitar Rp11 miliar, sebagai bagian dari langkah menekan angka putus sekolah. Program ini disalurkan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dengan semangat “tidak boleh ada anak Banua yang tidak sekolah” (kalimantan.com, 2-10-2025).
Langkah ini patut diapresiasi. Namun bila kita menengok akar masalahnya, persoalan putus sekolah tidak sesederhana memberi bantuan sekali-dua kali. Ia bersumber dari realitas yang jauh lebih dalam: Pertama, kemiskinan struktural. Banyak keluarga tidak mampu menanggung biaya tidak resmi, ongkos transportasi, atau kebutuhan hidup harian anak sekolah.
Kedua, tekanan ekonomi keluarga. Banyak anak terpaksa bekerja membantu orang tuanya karena sistem ekonomi gagal menjamin kesejahteraan dasar. Ketiga, akses pendidikan yang timpang. Sekolah, guru, dan fasilitas berkualitas belum merata di seluruh kabupaten/kota. Keempat, kebijakan yang bersifat tambal sulam.
Bantuan temporer seperti subsidi dan beasiswa hanya menunda masalah, bukan menyelesaikan akar persoalan. Kelima, lemahnya tanggung jawab negara. Pendidikan belum dipandang sebagai kewajiban negara untuk menyiapkan generasi, melainkan sebagai program yang tergantung anggaran.
Padahal, dalam pandangan Islam, pendidikan bukan sekadar layanan publik, ia adalah amanah negara yang wajib ditunaikan tanpa syarat. Dalam sistem Khilafah, pendidikan dijamin sepenuhnya oleh negara, gratis dan berkualitas, dari dasar hingga perguruan tinggi. Negara menyediakan guru terbaik, fasilitas memadai, dan kurikulum berbasis akidah, yang membentuk kepribadian Islam sekaligus menguasai ilmu kehidupan.
Sumber pendanaannya tidak bergantung pada pajak rakyat atau bantuan asing, melainkan berasal dari Baitulmaal, dimana pos-pos pendapatan terdiri dari harta kepemilikan umum seperti hasil tambang, minyak, gas energi dan harta kepemilikan negara seperti kharaj, jizyah, fa’i dan lainnya. Semua dikelola sebagai amanah untuk kemaslahatan umat, bukan keuntungan segelintir pihak.
Dengan sistem ekonomi Islam, tidak ada istilah “anak putus sekolah”. Sebab negara memastikan setiap anak mendapat hak pendidikan yang sama, tanpa melihat dompet orang tuanya. Dalam sejarah, Khilafah mampu melahirkan generasi ilmuwan, ulama, dan cendekiawan dari berbagai lapisan masyarakat, semua karena pendidikan dipandang sebagai ibadah, bukan komoditas.
Maka ketika hari ini kita masih bicara tentang “anak putus sekolah”, sebenarnya yang putus bukan sekadar akses belajar, tapi tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Kita hidup di sistem yang menjadikan pendidikan beban, bukan amanah; biaya, bukan kewajiban. Selama paradigma ini bertahan, maka bantuan sebesar apa pun hanya menjadi plester di luka yang dalam.
Islam menawarkan sebuah tatanan yang menumbuhkan generasi dengan ilmu dan iman sekaligus. Karena pendidikan dalam Islam bukan hanya mencerdaskan akal, tapi juga menundukkan hati kepada Allah. Itulah fondasi peradaban yang sejati. Wallahu’alam bi-shawwab. [LM/ry].