Eksploitasi Raja Ampat, Sifat Rakus Kapitalisme

Oleh: Ane

 

LenSaMediaNews.Com–Aktivitas penambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, memicu kritik dari masyarakat sipil. Selain mencemari lingkungan, penambangan tersebut juga berpotensi melanggar ketentuan pidana, tak terkecuali tindak pidana korupsi.

 

Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah mengatakan, Kepulauan Raja Ampat masuk dalam kualifikasi pulau-pulau kecil yang dilindungi lewat Undang-Undang.

 

Oleh karena itu, ia mempertanyakan izin penambangan nikel di Raja Ampat yang dikeluarkan pemerintah terhadap PT GAG Nikel. Herdiansyah berpendapat, jika izin tersebut keluar dengan adanya persekongkolan, bukan tidak mungkin hal itu mengarah pada tindak pidana korupsi (mediaIndonesia.com, 7-6-2025).

 

Beginilah, jikalau sumber daya alam dikelola dengan sistem Kapitalisme. Kekayaan alam yang melimpah justru hanya akan dijadikan komoditas untuk meraih cuan, dieksploitasi tanpa memikirkan kerusakan lingkungan serta kondisi rakyat yang tinggal di sekitarnya. Akhirnya, alam dan rakyat hanya menjadi tumbal kerakusan kapitalis asing.

 

Diakui, memang Indonesia kaya akan tambangnya, akan tetapi timpang dengan keadaan rakyat yang masih jauh dari kata sejahtera, bahkan bisa dikatakan menderita. Lapangan pekerjaan yang sulit, harga kebutuhan pokok yang selalu naik, biaya sekolah yang tinggi, korupsi dari bawah hingga atas, serta masih banyak lagi persoalan lain yang dihadapi negeri ini.

 

Tentu, semua persoalan yang ada, terjadi karena sumber daya alam negeri ini dikuasai serta dikelola oleh korporasi asing dan elit lokal yang hanya ingin meraup untung semata. Tak ayal, Raja Ampat yang dikenal memiliki keindahan alam lautnya, dikerat-kerat menjadi lahan galian tambang.

 

Pun, ambisi pemerintah terkait tambang nikel terlihat jelas makin besar. Karena sejatinya, dalam sistem Demokrasi yang berdaulat bukan rakyat melainkan para pemodal. Penguasaan sumber daya alam, termasuk tambang oleh oligarki adalah bukti konkret bahwa negeri ini sedang melayani oligarki selaku pemilik kedaulatan, bukan melayani rakyat.

 

Padahal, tambang bukan sekadar bisnis. Ia amanah besar bagi umat. Apalagi, hutan Papua adalah hutan terbesar yang masih tersisa di Indonesia. Mungkin, rakyat Papua bukan penyumbang devisa terbesar bagi negara, tetapi hutan mereka memberi sesuatu yang jauh lebih penting, yaitu oksigen.

 

Kita tentu bisa membayangkan jika hutan itu dibabat secara ugal-ugalan demi eksploitasi tambang. Tidak hanya ketersediaan oksigen yang terancam, namun kerusakan alam lain di depan mata. Belum lagi ditambah nasib rakyat sekitar, yang ujungnya hanya dibiarkan bagai barang terbengkalai. Rakyat hanya digantungkan pada kucuran bansos dan program-program receh.

 

Tentunya, keadaan akan sangat berbeda jika kita berada dalam sistem Islam. Islam memandang tambang sebagai kepemilikan umat, adapun pengelolaan sumber daya alam diserahkan kepada negara untuk rakyat, dengan kata lain hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat. Oleh sebab itu, sumber daya alam dilarang dimiliki korporasi atau individu.

 

Negara dengan sistem Islam memiliki peran yakni sebagai raa’in (pelayan) bagi rakyat, serta junnah (pelindung) kesejahteraan rakyatnya. Sehingga, negara wajib menjamin keadilan distribusi, mencegah eksploitasi, serta bertugas merawat alam, bukan malah merusaknya.

 

Islam bukan anti tambang, tetapi justru Islam meletakkan tambang dalam posisi strategis. Dimana, digali hanya untuk kebutuhan rakyat, dikelola tanpa merusak dan dihindarkan dari kerakusan manusia. Hal ini tentunya bukan utopia, karena dalil dan sejarah mendukung ini.

 

Dalam Islam, bumi ini amanah, bukan ladang eksploitasi. Bahkan, Islam telah memberi peringatan jelas, Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (TQS Al-A’raf:56).

 

Raja Ampat adalah surga laut dunia, bukan ladang tambang. Jikalau, Raja Ampat di eksploitasi, maka bukan cuma tanah yang dikeruk dan digali, tapi masa depan yang dicuri. Maka, untuk solusi nyata butuh sistem nyata pula. Krisis tambang bukan sekadar masalah teknis. Tapi masalah sistem. Islam hadir bukan hanya untuk akhirat, tapi juga untuk solusi mengatur dunia. Saatnya, kembali pada Islam dalam naungan negara yang menerapkan Islam secara kaffah. Wallahu’alam bisshowab. [LM/ry].