Evaluasi Program MBG: Saatnya Prioritaskan Keselamatan dan Kesejahteraan Anak

Kasus Raya_Opini_LenSa_20250912_081349_0000

Oleh: Novita L, S.Pd.

 

LenSaMediaNews.com__Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang semula digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi masalah stunting dan kekurangan gizi pada anak-anak serta ibu hamil, kembali memunculkan persoalan serius. MBG mengakibatkan keracunan di berbagai wilayah, antara lain di Kabupaten Lebong, Bengkulu dengan jumlah korban 427 anak, Lampung Timur dengan jumlah korban 20 anak, dan SMP 3 Berbah Sleman terdiri dari 135 siswa. Sebelumnya, kasus serupa juga mencuat di Sragen. Hasil uji laboratorium mengungkap bahwa permasalahan sanitasi lingkungan menjadi salah satu faktor utama penyebab keracunan (Tribunnews.com, 29-8-2025).

 

Kepala Badan Gizi Nasional menyampaikan rasa prihatin dan menghentikan sementara operasional Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tapi pertanyaannya, cukupkah hanya dengan rasa prihatin dan penghentian sementara?

 

Program MBG memang merupakan janji kampanye yang kemudian dijalankan sebagai bagian dari agenda nasional. Tujuannya pun terdengar mulia, yaitu mengurangi malnutrisi, mencegah stunting, dan meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia). Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Beberapa kali kasus keracunan siswa massal muncul, yang artinya ada celah besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Tetapi ini bukan hanya tentang gagal teknis. Ini soal nyawa anak-anak yang seharusnya dilindungi.

 

Ketika sebuah program kesehatan malah menjadi ancaman kesehatan, itu adalah alarm keras bahwa ada yang salah secara sistemik. Apalagi jika kejadian serupa terus berulang tanpa evaluasi menyeluruh dan perubahan fundamental. Program MBG (Makan Bergizi Gratis) ini, tetap bukan solusi yang hakiki atas persoalan gizi anak sekolah dan ibu hamil dalam mencegah masalah stunting. Sebab akar dari masalah ini bukan semata soal makanan gratis, melainkan kesejahteraan yang tidak merata, sanitasi buruk, dan lemahnya edukasi gizi.

 

Dalam kacamata Islam, hal semacam ini tak akan dibiarkan. Kesehatan adalah hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi negara. Rasulullah saw. bersabda: “Imam (khalifah) adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim)

 

Negara memiliki peran sentral sebagai raain (pengurus) dan junnah (pelindung) rakyat. Negara tidak hanya hadir sebagai fasilitator program populis, melainkan memiliki tanggung jawab penuh dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan bergizi, layanan kesehatan, dan pendidikan. Upaya ini dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan, bukan sekadar proyek politis atau pemanis program jangka pendek.

 

Kesejahteraan dalam sistem Islam bukan mimpi. Negara Islam Kaffah, dengan sistem ekonomi yang adil, memiliki sumber pemasukan yang besar, seperti pengelolaan sumber daya alam, kharaj, jizyah, fai’, dan zakat yang dikelola sesuai ketentuan syariat. Dana ini digunakan untuk menjamin kehidupan rakyat, termasuk dalam hal pemenuhan gizi dan perbaikan sanitasi secara menyeluruh. Edukasi gizi menjadi pemahaman yang diajarkan sejak dini sebagai bagian dari pembentukan generasi yang sehat secara jasmani dan rohani.

 

Kasus seperti keracunan MBG seharusnya menjadi momentum untuk evaluasi total, bukan sekadar menghentikan program sesaat. Sudah saatnya kita melihat bahwa akar persoalan bangsa ini tidak cukup diselesaikan dengan tambal sulam kebijakan, tetapi membutuhkan perubahan sistemik yang menyeluruh. Dan sistem Islam telah membuktikan kemampuannya menjaga rakyat dengan adil dan menyeluruh.

 

Jika kita benar-benar ingin menyelamatkan generasi, bukan hanya dengan makanan gratis, tapi dengan sistem yang menjamin kesehatan, kesejahteraan, dan pendidikan mereka secara utuh. Sudah saatnya kembali mempertimbangkan solusi dari Allah, bukan terus-menerus mengandalkan sistem buatan manusia yang terbukti lemah dan menyakitkan. [LM/Ss]