Fatherless di Mana-Mana, Wajar bila Sistemnya Kapitalistik-Sekuler

Oleh Adrina Nadhirah
LensaMediaNews.com, Opini_ Menurut Kompas.id, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2024 menunjukkan ada 15,9 juta anak yaitu sama dengan 20,1 persen dari total 79,4 juta anak yang berusia kurang dari 18 tahun berpotensi mengalami fatherless. Sebagian karena tidak tinggal bersama ayah dan sisanya karena ayah sibuk bekerja atau separuh harinya lebih banyak bekerja di luar rumah. Berdasarkan data ini, kita harus melihat dengan jeli bahwa fatherless bukan sekadar masalah keluarga, tapi gejala sosial yang mengakar dari sistem kehidupan. Tulisan ini mengungkapkan bagaimana fatherless bisa menjadi buah dari sistem kapitalisme-sekular yang merusak tatanan keluarga dan peran ayah.
Ayah dikenal sebagai sosok yang tidak banyak bicara. Mereka jarang hadir secara emosional dan fisik dalam kehidupan anak. Anak-anak pula lebih sering menghabiskan masa dengan dunia maya. Media sosial menjadi tempat banyak orang curhat mengenai kehidupan mereka yang tidak merasakan peran ayah. Di kolom komentar sebuah konten dari akun instagram @ruthhelga pada 17 Juli 2025, seorang warganet bercerita, air matanya tumpah saat membaca konten tentang ayah, sebab ia tidak merasakan peran ayahnya meskipun tinggal seatap.
Terdapat sejumlah akar penyebab fatherless dalam sistem kapitalistik-sekular yang mementingkan materi dan memisahkan agama dari kehidupan secara total. Pertama, tekanan ekonomi dan gaya hidup kapitalistik yang seringkali membebani ketua keluarga. Di sistem ini, ayah dituntut bekerja keras untuk memenuhi standar hidup materialistik. Standar ini menciptakan kesibukan yang tidak berpenghujung dalam mencari nafkah sehingga menyebabkan ayah kehilangan waktu untuk mendidik anak. Sebagai contoh, biaya kebutuhan sandang, pangan dan papan yang semakin hari semakin tinggi harganya, biaya pendidikan yang tidak murah, ditambah kesenangan materi lainnya yang tidak habis-habis menguras kantong. Seorang ayah pasti terbebani dan seolah tidak punya pilihan lain selain terus bekerja untuk menghidupi ahli keluarganya.
Selain itu, krisis nilai dalam sistem sekarang membuat ayah kehilangan panduan spiritual dan nilai tanggungjawab sebagai qawwam (pemimpin keluarga). Hal ini membuat keluarga menjadi kering dari curahan nilai dan kasih sayang yang sejati. Akhirnya anak-anak lebih nyaman mengisi tangki kasih sayang melalui sumber eksternal seperti teman-teman, mencari kekasih, berseliweran di media sosial dan lain sebagainya. Atas faktor inilah, kita bisa melihat banyaknya perilaku remaja bermasalah, depresi, kecemasan, hingga krisis identitas karena kehilangan figur ayah.
Berangkat dari masalah ini, Islam memiliki solusi yang bisa memperbaiki masalah fatherless hingga ke akar-akarnya. Mulai dari bagaimana konsep keluarga yang utuh dalam pandangan Islam. Bahwasanya ayah berperan sebagai qawwam yaitu pelindung, penanggung jawab nafkah, dan pendidik nilai iman. Sementara ibu berperan sebagai pengasuh, pendidik dan pengatur rumah tangga. Kedua, sosok ini saling bekerjasama dan sejatinya mampu membentuk sistem tarbiyah keluarga yang harmonis dan seimbang. Di samping itu, adanya dukungan negara dalam sistem Islam dapat menjamin kehidupan yang layak bagi kepala keluarga melalui upah yang adil, lapangan kerja, dan distribusi kekayaan yang merata. Kebijakan ekonomi Islam memungkinkan para ayah memiliki waktu bersama keluarga tanpa tekanan ekonomi berlebihan. Terakhir, Islam memiliki sistem perwalian dan perlindungan anak yang cukup. Setiap anak akan dijamin agar memiliki wali atau figur ayah sehingga tiada satu pun anak yang dibiarkan tanpa bimbingan figur otoritatif.
Allah SWT berfirman dalam QS. Luqmān [31]: 13,
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah…”
Dalam ayat ini, Luqman digambarkan sebagai figur ayah yang aktif mendidik anak dengan nilai tauhid, bukan sekadar pencari nafkah. Ini menunjukkan peran ayah dalam pembentukan karakter spiritual anak.
Kesimpulannya, fenomena fatherless adalah cermin kegagalan sistem kapitalisme-sekuler dalam menjaga institusi keluarga. Solusi sejati harus kembali pada Islam yang menempatkan posisi ayah sebagai qawwam dan negara sebagai penjamin kesejahteraan keluarga. Wallahu’alam bishhawab
