Fatherless, Hilangnya Peran Ayah di Sistem Kapitalisme

Fatherless

Annisa Auliya, Pegiat Pena Banua

 

LensaMediaNews.com, Opini_ Fatherless merupakan fenomena ketidakhadiran peran ayah dalam pengasuhan baik secara fisik maupun psikologis. Fatherless merupakan fenomena baru yang menjadi perhatian kita bersama terutama bagi orangtua.
Untuk Indonesia sendiri diketahui sekitar seperlima anak Indonesia atau 20,1 persen (15,9 juta anak) mengalami fatherless (Kompas, 8-10-2025). Sebelumnya tercatat Indonesia berada pada posisi ketiga di dunia sebagai negara tanpa ayah (tempo.co, 24-09-2024)

 

Disaat kita punya peluang untuk meraih generasi emas pada tahun 2045 dibandingkan dengan negara-negara lain yang hari ini sedang krisis generasi, fatherless justru menjadi ancaman terhadap peluang yang kita harapkan.

 

Sebab fatherless ini akan membawa dampak buruk bagi generasi kita dari dampak emosional seperti depresi, sedih, cemas, dan lain-lain. Dampak kognitif seperti kesulitan berkonsentrasi melakukan sesuatu, terlibat masalah perilaku disekolah, dan lain-lain. Serta dampak sosial seperti penggunaan narkoba, terlibat kenakalan remaja dan lain-lain.

 

Fatherless adalah isu baru yang lahir dari sistem kapitalisme hari ini. Sebab peran ayah telah bergeser hanya sebagai pencari nafkah dan tidak lagi sebagai orangtua yang mendidik, menyanyangi, dan mengayomi anak-anaknya. Pergeseran peran ini diakibatkan oleh tuntutan ekonomi kapitalisme yang mengharuskan para ayah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Ditambah dengan minimnya ilmu menjadi orangtua semakin menggeser peran ayah sesungguhnya dalam kehidupan anak-anak kita. Di antara alasannya karena terlalu sibuk bekerja dan keengganan untuk belajar serta pandangan hidup yang salah.
Mereka disibukkan dengan pandangan hidup yang kapitalistik, yaitu bagaimana meraih kesenangan duniawi tanpa memperhatikan kewajiban yang hakiki sesuai perintah ajaran Islam.

 

Inilah buah dari sistem kapitalisme yang melahirkan fatherless hari ini. Menjauhkan ayah dengan perannya yang haq dalam keluarga, yaitu bukan hanya sebagai pencari nafkah tapi juga qawwam bagi keluarga serta anak-anaknya. Di mana qawwam bukan hanya sebagai pemimpin yang memerintah saja tapi juga mendidik, menyayangi, mengayomi, serta menjaga keluarga termasuk anak-anaknya.

 

Kehadirannya sebagai qawwam ini merupakan tanggung jawab yang harus mereka kerjakan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini.
Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR. Bukhari).

 

Kewajiban sebagai qawwam disini tidak semata diartikan hanya sebagai pencari nafkah sebagaimana pandangan kapitalisme hari ini, tapi juga dalam hal pengasuhan berupa pendidikan, pemeliharaan, penjagaan dan sebagainya.
Untuk itulah peran ini harus dilakukakan berdasarkan ilmu terutama akidah yang lurus. Sebab tanpa akidah yang lurus, laki-laki tidak akan bisa memahami perannya yang haqiqi dalam sebuah keluarga terutama terhadap anak.

 

Dan Islam merupakan akidah yang lurus serta sesuai fitrah manusia, karena ia bersumber dari Allah yang menciptakan manusia dan alam semesta. Menurut ajaran Islam, ayah memiliki berbagai peran diantaranya sebagai qawwam, keteladanan dari Nabi Muhammad SAW, sumber rezeki dan penjaga keharmonisan, pelaku utama dalam pendidikan anak, pembangun akhlak mulia, serta pentingnya kehadiran fisik dan emosional seorang ayah dalam keluarga.
Ayah sebagai qawwam merupakan pemimpin bagi keluarganya. Segala Keputusan dalam keluarga ditentukan melalui musyawarah dan persetujuannya. Sebagai qawwam, dia juga bertanggungjawab untuk melindungi keluarganya serta menjamin segala kebutuhan mereka.

 

Karena sebagai qawwam, maka seorang ayah harus memiliki teladan yang baik untuk anak-anaknya dan itu bisa diambil dari tauladan sebaik-baiknya manusia yaitu Rasulullah SAW. Sebagaimana yang kita ketahui Rasulullah sangat menyayangi keluarganya.
Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Dengan demikian Islam mewajibkan kehadiran fisik juga emosional seorang ayah terhadap anaknya. Sebab ini akan membantu tumbuh kembang kehidupan anak-anak kita. Tidak lupa kebijakan lainnya dari negara yang bisa memudahkan dan mengkondisikan agar ayah dapat memaksimalkan perannya.
Di antaranya pemberian cuti untuk ayah di tempat kerja, terjangkaunya kebutuhan pokok, mudahnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain-lain, serta membangun sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Agar dengan kebijakan-kebijakan tersebut, seorang ayah dapat maksimal menjamin kebutuhan dasar keluarga termasuk anak-anaknya serta di sisi lain tetap bisa hadir membersamai tumbuh kembang anak-anaknya.

Dengan tujuan akan lahir generasi-generasi yang bertakwa, cerdas, dan bermanfaat untuk umat dan Islam. Inilah perbedaan Islam dan kapitalisme dalam pengasuhan. Sangat jelas sekali bahwa Islam tidak akan melahirkan kasus fatherless dalam keluarga jika dia diterapkan oleh semua keluarga, dan juga negara.
Wallahu’alam bis shawab…..