Filisida Maternal, Cermin Sistem yang Gagal

Oleh Rita Pajarwati
LensaMediaNews.com, Opini_ Kasus bunuh diri yang melibatkan anggota keluarga kembali terulang. Kali ini, seorang ibu berinisial EN (34 tahun) ditemukan tewas tergantung di kusen pintu kamar kontrakannya. Tak jauh dari jasad sang ibu ditemukan pula dua jasad anaknya AA (9 tahun) dan AAP (11 bulan) di Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat (5/9). Berdasarkan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) diketahui bahwa kemungkinan pelakunya bukan dari orang luar tapi dari orang yang berada di lokasi kejadian, dan berdasarkan penyidikan pelaku mengarah ke sang ibu sebagai pelaku pembunuhan terhadap kedua anaknya tersebut. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya surat wasiat yang ditulis oleh sang ibu yang berisi keluh kesah dan permasalahan hidup yang dialaminya.
Kasus ini bukan pertama kalinya terjadi. Sebelumnya kasus serupa juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Ditinjau dari psikologi forensik kasus ini termasuk dalam kategori maternal filicide-suicide, yaitu suatu kondisi ketika seorang ibu mengakhiri hidup anaknya sebelum kemudian mengakhiri hidupnya sendiri. Psikolog Klinis Forensik lulusan Universitas Indonesia A Kasandra Putranto, menjelaskan bahwa kasus bunuh diri dan filisida pada ibu di Indonesia tidak bisa dilihat semata-mata sebagai tindak kriminal (metrotvnew.com, 9/9/25).
Kata filisida berasal dari bahasa Latin filius (anak) dan cida (membunuh). Secara global, penelitian menunjukkan lebih dari separuh kasus pembunuhan anak dilakukan oleh orang tua kandung. Di Indonesia, KPAI bahkan menyebut sudah masuk fase “darurat filisida” karena dalam setahun rata-rata ada 60 kasus, atau lima hingga enam kasus setiap bulannya. (Kompasiana.com, 9/9/25).
Jika ditelaah lebih mendalam maraknya kasus-kasus semacam ini bersifat multidimensional, artinya tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja. Motifnya bisa disebabkan oleh faktor sosial-ekonomi, psikologis, sosial-ekonomi, serta minimnya dukungan kesehatan mental.
Inilah realita yang terjadi pada sistem yang sedang berkuasa saat ini. Sistem kapitalisme yang mengakar kuat yang menyebabkan segala kerusakan dan kesulitan di seluruh bidang kehidupan. Masyarakat ditekan dalam berbagai hal seperti lapangan pekerjaan yang menyempit, harga bahan pokok yang semakin melambung yang berefek pada daya beli masyarakat yang merosot, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masif di berbagai sektor akibat efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah untuk mendanai kebijakan nasional yang tidak fundamental dan kurang tepat sasaran, yang seharusnya anggaran itu dialokasikan untuk kepentingan masyarakat yang lebih penting dan urgen.
Ketimpangan ekonomi yang tinggi di mana masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah semakin tercekik dengan beban ekonomi yang sulit, sedangkan para pejabat dan wakil rakyat mendapat kenaikan gaji dan tunjangan. Maraknya pinjol seakan menjadi penyelamat dan menjadi solusi instan yang awalnya diharapkan bisa meringankan tetapi pada akhirnya malah menjerumuskan ke utang yang lebih besar akibat akumulasi bunga yang semakin menumpuk. Ditinjau dari aspek sosial adanya sistem kapitalisme ini pun telah menggeser kehidupan bermasyarakat menjadi lebih individualistis dan berkurangnya kontrol sosial, yang berdampak pada menurunnya kepekaan dan kurangnya empati terhadap kondisi di lingkungan sekitarnya.
Berbeda halnya jika sistem yang diterapkan adalah sistem Islam, keadilan dan kesejahteraan rakyat menjadi hal yang diprioritaskan. Dalam bidang ekonomi akan dilakukan pemerataan dan distribusi kekayaan serta terpenuhinya kebutuhan pokok tiap-tiap individu, sehingga rakyat tidak akan mudah depresi dan tertekan karena alasan ekonomi. Tidak hanya dalam bidang ekonomi, khalifah selaku penguasa pun akan menjamin tegaknya syariat Islam yang akan membawa kemaslahatan dan keberkahan.
Wallahu’alam bishshawab.
