Haji Komersial, Tanda Lemahnya Kepemimpinan Umat

Krem Hitam Ilustrasi Ucapan Ibadah Haji Instagram Post_20250524_180018_0000

Oleh: Nettyhera

 

Lensa Media News- Ibadah haji adalah rukun Islam yang mulia, menjadi impian jutaan kaum Muslimin di seluruh dunia. Setiap tahun, jutaan umat Islam berduyun-duyun ke Baitullah, menunaikan panggilan suci sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT. Namun, di tengah kesakralan ibadah ini, muncul ironi yang memilukan. Haji kini tak lagi sepenuhnya menjadi sarana pendekatan diri kepada Allah, tetapi mulai berubah menjadi ajang komersialisasi dan bisnis berskala besar, bahkan diatur dengan standar ala korporasi.

Di Indonesia, masalah pengelolaan haji kerap menjadi sorotan. Mulai dari persoalan kuota yang terbatas, antrean panjang hingga puluhan tahun, pembengkakan biaya haji (Bipih), hingga isu investasi dana haji yang mengundang tanda tanya besar. Semua ini menunjukkan bahwa pengelolaan haji hari ini lebih menyerupai urusan korporasi ketimbang amanah ibadah. Bahkan, Kementerian Agama (Kemenag) sempat menyebut penyelenggaraan haji 2024 dihadapkan pada tantangan finansial, seiring lonjakan biaya yang tidak sebanding dengan nilai manfaat yang tersedia. Ini menjadi sinyal bahaya yang tak bisa dianggap sepele.

 

Haji, Ibadah atau Komoditas?

Seharusnya, haji dijalankan sebagai amanah besar, bukan komoditas bisnis. Namun faktanya, pengelolaan haji kini sudah seperti mengelola pasar: siapa yang mampu membayar lebih, bisa berangkat lebih cepat. Sementara rakyat biasa harus pasrah menunggu giliran hingga 30–40 tahun ke depan. Belum lagi munculnya haji furoda dan haji khusus yang biayanya selangit—membuka peluang ketimpangan sosial dalam ibadah yang seharusnya mempersatukan semua lapisan umat.

Ironisnya, negara justru tidak sungguh-sungguh menyelesaikan akar masalahnya. Sebaliknya, negara hanya bersikap sebagai operator teknis yang menyerahkan banyak aspek kepada mekanisme pasar dan prinsip efisiensi. Bahkan, dana haji yang jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah justru dialihkan untuk investasi, dengan alasan agar nilai manfaatnya bertambah. Padahal, dana itu adalah amanah dari jutaan umat, yang seharusnya dijaga secara penuh, bukan dijadikan alat investasi yang rawan risiko dan kepentingan politik.

 

Pengelolaan Haji dalam Sistem Kapitalisme

Apa yang terjadi hari ini tak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem ini, ibadah pun bisa berubah menjadi komoditas jika dinilai menguntungkan secara ekonomi. Negara tidak menjalankan fungsi sebagai pelayan umat, tapi berubah menjadi pengelola birokratis yang mengedepankan untung-rugi. Akibatnya, haji dikelola dengan orientasi materi, bukan spiritualitas.

Sistem kapitalisme juga menjadikan negara-negara Muslim lemah dan bergantung. Arab Saudi, sebagai pengelola dua tanah suci, menetapkan berbagai kebijakan sepihak yang kerap memberatkan calon jamaah, seperti pembatasan usia, tarif visa yang mahal, hingga pembangunan infrastruktur mewah yang berujung pada kenaikan biaya akomodasi. Sayangnya, negara-negara Muslim lain, termasuk Indonesia, tak punya daya tawar untuk menolak atau menegosiasi secara tegas. Semua tunduk dan menerima dengan alasan “mengikuti kebijakan pemerintah Arab Saudi.”

 

Khilafah, Solusi Pengelolaan Haji yang Islami

Berbeda halnya dengan sistem Islam. Dalam sistem Khilafah, ibadah haji dikelola langsung oleh negara Islam sebagai bentuk pelayanan terhadap umat, bukan sebagai sumber profit. Khalifah akan memastikan bahwa seluruh umat Islam yang mampu menunaikan haji mendapat akses yang mudah, murah, dan aman. Negara akan memfasilitasi transportasi, akomodasi, pelayanan kesehatan, bahkan memberikan subsidi jika diperlukan.

Khilafah juga akan mengelola tanah haram (Makkah dan Madinah) sebagai milik umat, bukan sebagai kawasan kapitalistik. Pembangunan yang dilakukan di sekitar Masjidil Haram dan Nabawi tidak akan bertujuan mengeruk keuntungan dari jamaah, melainkan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tidak akan ada proyek mewah yang meminggirkan nilai-nilai kesederhanaan dalam ibadah, seperti yang terjadi hari ini dengan berdirinya hotel-hotel elit, mal mewah, dan apartemen privat yang hanya bisa dijangkau kalangan berduit.

Bahkan, dalam sejarah Khilafah Islam, para khalifah berlomba-lomba memberikan pelayanan terbaik kepada jamaah haji. Khalifah Harun al-Rasyid misalnya, membangun jalur khusus dari Baghdad ke Makkah lengkap dengan pos logistik, penginapan, dan pengamanan. Dana negara digunakan sepenuhnya demi kelancaran ibadah, bukan disimpan atau diinvestasikan demi bunga atau keuntungan.

 

Perlu Kepemimpinan Islam Global

Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa semua problematika ini bermuara pada satu akar, tidak adanya institusi pemersatu umat yang menerapkan Islam secara menyeluruh. Selama umat Islam terpecah-pecah dalam puluhan negara, selama pengelolaan ibadah tunduk pada sistem kapitalis, maka masalah pengelolaan haji tidak akan pernah tuntas.

Hanya dengan kembali kepada sistem Islam dalam naungan Khilafah-lah pengelolaan haji bisa dikembalikan kepada fitrahnya, sebagai ibadah yang sakral, bukan komoditas bisnis. Haji harus diatur oleh negara yang menjadikan syariah sebagai hukum tertinggi, bukan oleh negara yang menjadikan kapitalisme sebagai pedoman utama.

 

Penutup

Pengelolaan haji yang sarat komersialisasi adalah bukti nyata bahwa umat Islam kehilangan kepemimpinan yang amanah dan bertanggung jawab. Kita tidak bisa terus membiarkan ibadah sebesar haji dikelola dalam sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Sudah saatnya umat Islam bangkit, menyuarakan perubahan hakiki, dan mengembalikan syariah dalam kehidupan. Hanya dengan itulah haji kembali menjadi ibadah yang murni, terjangkau, dan membawa berkah bagi seluruh umat.

Sebagaimana firman Allah SWT:

Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah…” (TQS Al-Baqarah: 196)

Mari kita sempurnakan juga sistem yang menaunginya. Agar haji benar-benar menjadi panggilan suci yang meneguhkan tauhid dan membangun persatuan umat di bawah naungan Islam kaffah.

 

[LM/nr]