Hari Santri dan Agenda yang Terlupa

Oleh Novi Kristiawati
LensaMediaNews.com,Opini_ Setiap 22 Oktober, gegap gempita perayaan Hari Santri selalu terasa. Upacara, kirab, pembacaan kitab kuning, hingga festival sinema digelar di berbagai daerah. Tahun ini, dengan tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia,” Presiden Prabowo Subianto mengajak para santri menjadi penjaga moral dan pelopor kemajuan bangsa. Ia juga menyinggung Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy‘ari simbol heroik yang kerap dihidupkan setiap kali Hari Santri tiba.
Namun, di balik semarak seremonial itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah peran santri hari ini benar-benar diarahkan sebagaimana peran ulama dan santri di masa lalu yakni membela Islam dan melawan penjajahan dalam segala bentuknya?
Jika menengok realitas, justru peran santri hari ini kerap dibelokkan. Alih-alih menjadi agen perubahan yang membawa umat menuju kebangkitan Islam, santri diarahkan menjadi agen “moderasi beragama,” “penggerak ekonomi pesantren,” atau “influencer toleransi.” Semua istilah yang tampak manis, namun jika ditelusuri, sesungguhnya mengikat santri dalam arus besar sistem sekuler-kapitalistik.
Santri diidentikkan dengan kemandirian ekonomi, tapi bukan dengan keberanian menegakkan hukum Allah. Santri diminta aktif menjaga moral, tapi dalam kerangka nilai moral yang ditetapkan negara sekuler. Santri diajak membangun bangsa, tapi tanpa ruh jihad yang dulu membuat mereka disegani penjajah.
Padahal, sejarah menunjukkan, kekuatan santri lahir bukan dari program pemerintah, melainkan dari keikhlasan mereka berjuang menegakkan agama. Resolusi Jihad bukanlah agenda politik, tetapi panggilan iman untuk melindungi negeri dari penjajahan. Namun kini, semangat jihad itu dikerdilkan menjadi sekadar simbol nasionalisme tanpa ruh Islam.
Seremonial demi seremonial terus digelar, tapi pesantren tetap menghadapi masalah mendasar: komersialisasi pendidikan, kurikulum yang sekuler, hingga tekanan untuk “menyesuaikan diri” dengan ide pluralisme dan moderasi. Banyak pesantren akhirnya kehilangan fungsi aslinya sebagai pencetak mujtahid, mujahid, dan da’i yang fakih fiddin.
Di sisi lain, narasi yang diangkat pemerintah seolah memuji, tapi sebenarnya menjinakkan. Santri yang kritis terhadap sistem sekuler dianggap ekstrem. Pesantren yang menolak ide moderasi dilabeli radikal. Akibatnya, identitas santri kian kabur, tercerabut dari akar perjuangan Islam.
Padahal, Islam memandang santri sebagai pewaris para nabi, bukan alat politik penguasa. Santri sejati adalah mereka yang siap menegakkan kalimat Allah meski harus melawan arus. Mereka memahami bahwa kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari dominasi ide dan sistem kufur.
Santri mestinya menjadi agen perubahan sejati yang berani mengembalikan arah perjuangan umat menuju penerapan syariat Islam secara kaffah. Karena hanya dengan Islam, umat ini bisa kembali memimpin peradaban dunia dengan keadilan dan kemuliaan.
Peringatan Hari Santri seharusnya menjadi momen untuk merenung, bukan sekadar berpawai. Mengingatkan kembali bahwa darah para santri dulu tumpah bukan demi bendera, tapi demi kalimat La ilaha illallah.
“Jika santri hari ini memilih diam dari perjuangan Islam, maka sejarah akan mencatat bahwa generasi inilah yang memutus rantai jihad para ulama.”
Wallahu a‘lam.
