Hubungan Sedarah, Hancurnya Bangunan Keluarga dalam Kapitalisme

Oleh : Daryeti
Aktivis Muslimah
LenSaMediaNews.Com–Keluarga seharusnya menjadi tempat paling aman bagi seseorang, menjadi tempat berlindung dari segala sisi jahat dunia. Namun kini, malah menjadi sumber kejahatan itu sendiri.
Terkuaknya Fanspage Fantasi Sedarah di Facebook yang beranggotakan lebih dari 32 ribu orang dan kemudian berganti nama menjadi fanspage Suka Duka cukup mengentak naluri kemanusiaan dan akal sehat kita.
Gerombolan manusia ini bukan hanya memiliki perilaku yang menyimpang, tapi mereka berani membahas perilaku menjijikannya di ranah publik, benar-benar di luar nalar (news.detik.com, 25-5-2025).
Kasus lain yang juga menyita perhatian adalah kasus inses atau hubungan sedarah memilukan yang terjadi di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara (Sumut). Seorang ayah berusia 41 tahun tega menyetubuhi tiga putri kandungnya sendiri, yang baru terkuak setelah korban paling kecil berusia 13 tahun mengadukan apa yang dialaminya kepada kakak perempuan tertua yang ternyata sama sebagai korban bersama kakak keduanya (medan.tribunews.com, 30-05-2025).
Itu hanyalah beberapa kasus yang mencuat di media, barat fenomena gunung es, apa yang tersembunyi dipastikan jauh lebih parah dan lebih besar. Mereka yang berhimpun di grup dunia maya dipastikan hanya sebagian kecil dari mereka yang berkeliaran di dunia nyata.
Jaringan mereka, pelan tapi pasti akan menyusup dan memengaruhi masyarakat sehingga suatu saat perilaku yang menyimpang akan dianggap sebagai budaya yang normal.
Maraknya kasus amoral ini sebenarnya bukanlah masalah tunggal yang berdiri sendiri. Banyak faktor penyebab yang pada akhirnya mengerucut pada satu persoalan, yaitu tidak diterapkannya syariat Islam yang akan menuntun manusia di jalan kebenaran.
Pemikiran dan budaya sekular yang menjadikan kebebasan (liberalisme) sebagai ruh-nya telah menyerang negeri kita sehingga identitas Islam hilang dari perilaku masyarakat. Negara kita terjajah dalam segala aspek, mulai dari politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan yang lainnya.
Sebagai negeri yang terjajah secara mental dan pemikiran, dalam hal apapun kita selalu menjadi follower dan berkiblat kepada negara-negara kafir penjajah yang mengusung sistem kufur Kapitalisme.
Dalam Kapitalisme negara kehilangan perannya dalam mengurusi urusan rakyat, karena mereka sejatinya hanyalah pelayan bagi para oligarki. Mereka dengan segala kebijakannya mengerdilkan peran agama untuk mengatur kehidupan. Agama hanya dipakai mengatur spiritual individu saja, tidak untuk mengatur berbagai urusan umat karena dianggap kontraproduktif terhadap kemajuan bangsa.
Semua itu dapat dilihat dari berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh negara. Sistem politik demokrasi yang penuh tipu daya perebutan kekuasaan. Sistem ekonomi yang zalim dan eksploitatif. Sistem sosial yang liberal dan serba permisif.
Sistem hukum yang diskriminatif dan tak efektif mencegah kerusakan. Sistem pertahanan yang lemah dan mudah diintervensi. Kehidupan masyarakat menjadi kacau, sementara negara cenderung melakukan pembiaran.
Situasi memprihatinkan ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi hampir merata terjadi di negeri-negeri muslim lainnya. Itu akibat jauh dari aturan Allah Sang Mudabbir, sebagaimana firmanNya yang artinya, “Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Dan kami akan mengumpulkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta.” (TQS Thaha: 124).
Kondisi kaum muslimin yang digambarkan sebagai umat terbaik (khairu ummah), hanya sebatas mimpi jika masih diterapkan sstem hidup yang rusak. Sungguh jauh berbeda keadaaannya ketika sistem kepemimpinan Islam, yakni Khilafah, diterapkan dalam kehidupan. Terbukti berabad lamanya umat Islam menjadi umat terbaik dengan peradaban yang begitu mulia dan gemilang.
Saat itu, semua orang benar-benar merasakan kesejahteraan. Kehidupan masyarakat penuh dengan kebaikan. Bangunan keluarga tampak begitu kokoh sekaligus mampu berfungsi sebagai pencetak generasi cemerlang.
Khalifah benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pengurus sekaligus benteng penjaga umat. Masyarakat menjalankan fungsi amar makruf nahi mungkar, dan para individunya terasah dengan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, menghasilkan pribadi bersyakhsiyah Islam yang senantiasa hanya takut kepada Allah.
Tentu menjadi suatu hal yang mendesak untuk kembali menghadirkan negara ideal seperti ini supaya individu, keluarga dan masyarakat dapat terselamatkan. Caranya adalah dengan mendakwahkan urgensi dan kewajiban menerapkan Islam, serta mendakwahkan keharaman dan dosa hidup berlama-lama dalam sistem kufur yang jauh dari hukum-hukum Islam.
Melihat kondisi masyarakat di ambang kehancuran seperti sekarang, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menyerah pada keadaan. Sudah saatnya kita mengambil peran untuk terlibat dalam perubahan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta dan terhadap generasi yang akan datang. Wallahu’alam bissawab. [LM/ry].