Indonesia akan Menjadi Pemain atau Penonton dalam Era AI 2030?

Oleh Adrina Nadhirah
Lensamedianews.com_ Ekonomi global bergerak menuju otomatisasi, dan Indonesia kini berada di persimpangan: apakah akan menjadi pemain utama dalam era kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) 2030, atau justru hanya penonton. Ketidakpastian pascapandemi, ancaman resesi, dan ketimpangan digital menjadi tantangan nyata. Namun, peluang besar juga tersedia, termasuk potensi bonus demografi dan proyeksi peningkatan PDB hingga US$366 miliar jika AI dimanfaatkan dengan optimal dan merata. (Bapennas)
Meski demikian, AI hanyalah alat. Ia bisa menjadi jalan kemajuan atau justru alat penjajahan baru, tergantung pada siapa yang mengendalikannya dan untuk tujuan apa. Dalam sistem kapitalisme yang mengutamakan keuntungan, teknologi kerap dimanfaatkan untuk eksploitasi, bukan pemberdayaan.
Tantangan Digitalisasi dan Kesiapan SDM
Dengan jumlah penduduk mencapai 278 juta jiwa pada 2024, Indonesia memiliki potensi sumber daya manusia yang sangat besar. Sayangnya, bonus demografi ini belum diiringi dengan peningkatan literasi digital dan kesiapan teknologi yang memadai. Dibandingkan dengan negara seperti Tiongkok yang berhasil mengintegrasikan teknologi dalam sektor manufaktur dan pendidikan, Indonesia masih tertinggal cukup jauh.
Pemerintah memang telah menggagas berbagai program upskilling dan pelatihan digital. Namun, Deputi Kemenko Perekonomian Mohammad Rudy menyebutkan bahwa 23 juta pekerjaan berisiko tergantikan oleh otomatisasi. Hal ini menunjukkan bahwa program peningkatan keterampilan tidak cukup cepat mengimbangi laju perkembangan teknologi. Dalam sistem kapitalisme, hal ini lazim terjadi karena negara lebih bertindak sebagai fasilitator pasar, bukan pelindung rakyat.
Kesenjangan Digital dan Wacana Kurikulum AI
Pemerataan infrastruktur digital masih menjadi masalah serius. Kesenjangan antara kota dan desa, serta antara kelompok masyarakat yang mampu dan yang termarjinalkan, membuat sebagian besar rakyat belum siap menghadapi gelombang AI
Di tengah kondisi ini, muncul wacana dari Gibran Rakabuming Raka tentang pengajaran AI sejak sekolah dasar. Wacana ini mendapat sorotan, karena meski terkesan inovatif, implementasinya tidak akan adil tanpa pemerataan infrastruktur, akses internet, dan peningkatan kualitas guru. Tanpa perencanaan menyeluruh, kebijakan semacam ini hanya akan menguntungkan wilayah perkotaan dan memperlebar jurang digital.
AI: Antara Peluang dan Ancaman dalam Sistem Kapitalisme
AI ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan efisiensi dan kemajuan; di sisi lain, ia dapat mengancam lapangan kerja, menciptakan ketimpangan, dan menambah dominasi korporasi besar. Dalam sistem kapitalisme, teknologi seperti AI lebih sering digunakan untuk menekan biaya, menggantikan manusia, dan meraup keuntungan sebesar-besarnya, bukan untuk kesejahteraan rakyat secara kolektif. Semua ini menunjukkan bahwa teknologi tanpa panduan nilai dan akhlak hanya akan memperparah ketidakadilan yang sudah ada.
AI di Bawah Naungan Sistem Islam
Islam memandang ilmu dan teknologi sebagai sarana untuk memakmurkan bumi, selama selaras dengan nilai-nilai syariah. Dalam sistem Khilafah, negara tidak sekadar membiarkan pasar mengatur arah teknologi, tetapi mengambil peran aktif dalam memastikan AI digunakan untuk kebaikan umat. Pendidikan AI sejak usia dini didorong, namun dengan kurikulum yang terintegrasi antara ilmu dunia dan akidah Islam, sehingga lahir generasi yang tangguh secara teknologi dan kokoh secara iman.
Negara akan menjamin pemerataan pendidikan teknologi melalui dana Baitul Mal, memastikan seluruh rakyat baik di kota maupun desa memiliki akses yang sama. Tidak ada dikotomi antara teknologi dan moralitas. Setiap inovasi diarahkan untuk mewujudkan maqashid syariah, yaitu menjaga agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara menjamin kebutuhan dasar rakyat, membuka lapangan kerja berbasis produktivitas riil, dan mendorong kemajuan sektor strategis seperti pertanian, industri, dan perdagangan berbasis teknologi halal. Transaksi online dan ekosistem digital diawasi agar tetap sesuai syariah. AI tidak akan menjadi alat dominasi, melainkan bagian dari sistem yang membawa keberkahan.
Khilafah akan menerapkan kebijakan teknologi yang tidak tunduk pada kepentingan korporasi global. Negara bertanggung jawab penuh terhadap pemanfaatan teknologi, memastikan bahwa AI mempercepat pelayanan publik, meningkatkan kualitas hidup rakyat, dan memperkuat independensi peradaban Islam di tingkat global.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian” (HR Muslim), Islam memberi ruang bagi kemajuan, namun selalu dalam bingkai ketaatan kepada Allah. Dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, AI dapat menjadi alat kemajuan yang adil dan menyeluruh, bukan sekadar alat segelintir elite untuk mempertahankan kekuasaan.