Jalan Sunyi Diplomasi: Antara Kepentingan dan Kemandirian

China-LenSaMedia

Oleh: Pudji Arijanti

Pegiat Literasi Untuk Peradaban

 

LenSaMediaNews.Com–Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing awal September 2025 dalam rangka menghadiri peringatan 80 tahun kemenangan Perang Dunia II dan parade militer, disertai agenda pertemuan bilateral dengan Presiden Xi Jinping, menandai relasi strategis kedua negara (Republika.co.id,  4-9-2025).

 

Namun ada hal yang perlu dikulik lebih luas atas kunjungan tersebut, juga perlu diungkap lebih dalam apakah hal tersebut menguntungkan bagi kalkulasi keberlangsungan geopolitik di negeri ini. Jika keuntungan tersebut hanya sesaat dan malah berujung memberatkan bagi negeri serta rakyat, harusnya perlu diwaspdai.

 

Diplomasi Berorientasi Pinjaman

 

Memang dalam Sistem Kapitalisme, kalkulasi untung dan rugi atas kunjungan bilateral suatu negara harus menghasilkan sesuatu yang menguntungkan bagi ke dua belah pihak.

 

Dalam narasi resmi, salah satu tujuan besar kunjungan ini adalah memperkuat peran Indonesia di BRICS serta memanfaatkan New Development Bank (NDB). Diharapkan atas keanggotaan tersebut, Indonesia memperoleh koneksi dana murah untuk pembangunan infrastruktur, energi, dan proyek strategis lain.

 

Namun, benarkah dana itu murah? Hakikatnya, NDB tetaplah lembaga keuangan berbasis pinjaman berbunga. Bedanya, jika IMF dan Bank Dunia didominasi Barat, maka NDB berada di bawah pengaruh China dan sekutunya.

 

Maka sesungguhnya, Indonesia hanya bergeser dari istilah dan siapa donaturnya saja tetapi porosnya tetap poros kapitalis. Jika demikian, orientasi diplomasi pun tereduksi menjadi sekadar mengejar kucuran dana. Dampak yang pasti,  hilanglah kemandirian.

 

Persaingan antara Barat dan BRICS hanyalah perebutan pengaruh kapitalis. Rakyat di negeri-negeri berkembang, termasuk Indonesia, akhirnya hanya jadi objek rebutan. Investasi masuk, tapi bersama itu datang pula risiko, seperti eksploitasi sumber daya, ketergantungan teknologi, bahkan tekanan politik yang berujung polarisasi global, rakyatlah korbannya.

 

Pinjaman berbunga dari NDB, IMF, maupun lembaga lain sama-sama menjerat negara dalam lingkaran utang. Dari sinilah lahir ketergantungan, berujung kebijakan ekonomi dan politik mudah ditekan oleh pemberi pinjaman. Sejatinya, kedaulatan bangsa tergadaikan, meski dibungkus jargon pembangunan.

 

Sejak lama, Indonesia berpegang pada prinsip bebas-aktif. Namun dalam praktiknya sikap ini semakin kabur. Hadir di Beijing bisa dibaca sebagai sinyal kedekatan dengan China, sementara sebelumnya Indonesia juga tetap menjaga hubungan erat dengan Amerika Serikat, Jepang, maupun Eropa. Namun di balik itu semua, Indonesia masih terjebak dalam logika kapitalis dan menempatkan diri dalam orbit.

 

Aktifitas Politik Itu Dakwah Bukan Mencari Pinjaman

 

Dari perspektif Islam, politik luar negeri adalah hakiki. Bukan sekadar pelengkap tetapi sesuatu yang esensial dalam menjaga eksistensi umat dan negara. Tidak boleh sekedar menjadi penyeimbang antara dua kekuatan kapitalis.

 

Negara Islam dalam hal ini Khilafah,  memiliki visi jelas yakni, berdiri di atas prinsip syariat, bukan pada kepentingan investasi ataupun kekuatan global. Seorang Khalifah, ketika melakukan kunjungan ke luar negeri, ataupun aktifitas politik tujuannya bukan mencari pinjaman, melainkan menyampaikan dakwah dan membangun relasi atas dasar kemaslahatan umat.

 

Atau lebih tepatnya politik luar negeri dalam sistem Khilafah adalah dakwah dan jihad. Dua hal ini adalah dua pilar utama politik luar negeri negara Khilafah. Tujuannya bukan dominasi ekonomi atau politik semata, melainkan untuk menyampaikan Islam ke seluruh dunia, membuka wilayah untuk dakwah, dan melindungi umat Islam dari ancaman negara lain.

 

Untuk itulah  negara Khilafah dalam membiayai negaranya ataupun membangun insfrastruktur dari sumber dalam negeri yaitu Baitulmal. Dengan pos-pos pemasukan seperti zakat, kharaj, jizyah, fai’, hingga pengelolaan penuh atas sumber daya alam. Dengan demikian negara tidak perlu mengemis pinjaman ke blok mana pun.

 

Islam jelas menolak logika seperti ini. Negara yang berlandaskan syariat harus melindungi rakyatnya dari dominasi asing. Bukan hanya dengan menolak utang berbunga, tetapi juga dengan memastikan pengelolaan kekayaan alam tidak jatuh ke tangan asing.

 

Dengan demikian solusi hakiki bukan memilih blok Barat atau blok BRICS, melainkan melepaskan diri dari jeratan keduanya. Kemandirian harus dibangun melalui pengelolaan SDA serta pembiayaan melalui mekanisme syariah serta politik luar negeri yang berorientasi dakwah, bukan utang. Wallahu’alam Bissawab. [LM/ry].