Job Hugging: Beratnya Memeluk Nestapa

Oleh Lulu Nugroho
LensaMediaNews.com, Opini_ Fenomena job hugging kini menjangkiti para pekerja di seluruh dunia. Memeluk pekerjaan bukan karena cinta, tetapi karena terpaksa dan tak ada pilihan lain. Ketidakstabilan ekonomi mengkhawatirkan banyak kalangan. Akhirnya mereka terpaksa bertahan, meski banyak hal tak mengenakkan terjadi di tempat kerja.
Secara umum, istilah job hugging menggambarkan kondisi seseorang sangat “melekat” pada pekerjaannya. Mereka tak bisa pindah, meski kondisi pekerjaan itu tidak ideal: gaji kecil, beban berat, peluang pengembangan minim, atau bahkan tidak sesuai keahlian. Tren ini lahir karena seseorang takut kehilangan pekerjaan, keterbatasan lapangan kerja, atau karena tekanan ekonomi.
Job hugging erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang berjalan saat ini. Kapitalisme menjadikan lapangan kerja bergantung pada pasar dan modal, karenanya kesempatan kerja sangat sempit. Tidak ada jaminan penyediaan lapangan kerja dari negara, sehingga orang berebut peluang yang sedikit itu. Akhirnya muncul ketergantungan pada pekerjaan yang ada, walaupun tidak layak atau tak sesuai antara gaji dengan upaya yang dikerahkan.
Di samping itu negara tidak menjamin hak individu. Alhasil kesejahteraan pun menjadi tanggungan diri sendiri. Maka kehilangan lapangan pekerjaan, menjadikan faktor penyulit untuk seseorang bertahan di dalam hidupnya. Risiko inilah yang dihindari.
Kepemilikan pun bercampu baur, tak jelas harta individu, negara atau umum. Sebagian besar akses pada tanah, modal dan kekayaan alam, dikuasai kapital. Akibatnya rakyat kecil hanya mendapat porsi minim, bahkan harus membayar mahal untuk seluruh pemenuhan kebutuhan pokok yang menjadi haknya.
Dalam alam kehidupan yang dikelola kapitalisme, menjadikan seseorang melihat pekerjaan sebagai alat bertahan hidup (survival), bukan bagian dari ibadah. Karena itu mereka rela terikat dalam kondisi menekan, asalkan pemenuhan kebutuhan hidupnya tetap berjalan. Tanpa kendali agama, orientasi terhadap materi akan selamanya melekat dalam diri individu tersebut.
Solusi Islam
Dalam Islam negara wajib menyediakan lapangan kerja. Rasulullah ﷺ bersabda: “Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Negara akan memastikan setiap orang bisa bekerja sesuai kemampuannya. Misalnya, jika ada yang tidak punya lahan, negara bisa memberinya tanah mati untuk dihidupkan (ihyā’ al-mawāt), atau memberinya modal untuk berdagang, bisa juga berupa kelengkapan lainnya berupa pelatihan ketrampilan, dan sarana, dan lain-lain.
Nagera juga menjamin pemenuhan kebutuhan dasar manusia baik pangan, sandang dan papan, serta kebutuhan yang bersifat komunal seperti pendidikan, keamanan, dan kesehatan. Maka individu tak perlu menderita bekerja di bidang yang tak nyaman, sebab kesejahteraan dirinya dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya, ada dalam jaminan negara.
Islam pun menjamin distribusi kepemilikan yang adil. Sumber daya alam dikelola negara untuk sebesar-besarnya kemaslahatan rakyat, bukan dimonopoli segelintir orang (para kapital). Hal ini membuat lapangan kerja melimpah, karena pekerja negeri sendiri diutamakan, ketimbang mengimpor pegawai dari luar.
Pada masa Rasulullah ﷺ seorang sahabat miskin yang datang meminta-minta, tidak dibiarkan terus dalam kondisi itu. Selembar kain dan sebuah mangkuk yang dimilikinya, ia jual untuk membeli kapak. Dari kapak inilah ia memperoleh kayu bakar yang bisa dijual, untuk nafkah bagi dirinya. Setelah beberapa hari, sahabat itu datang dengan penghasilan sendiri. Ini menunjukkan negara tidak membiarkan rakyat hidup menganggur, tetapi memberi solusi agar mereka bisa bekerja.
Sedangkan Khalifah Umar bin Khaththab pernah membagikan tanah pertanian di Irak dan Syam kepada para petani setempat, bukan kepada tentara penakluk. Tentara hanya mendapat ghanimah (harta rampasan perang), sedangkan tanah tetap dikelola rakyat. Tujuannya agar rakyat bisa bekerja dan negara memperoleh kharaj (pajak tanah) secara berkesinambungan. Umar juga pernah memberi modal dari Baitul Mal kepada rakyat miskin agar mereka bisa berdagang, sehingga tidak menggantungkan diri pada belas kasihan orang lain.
Berbeda dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat tegas melakukan distribusi kekayaan. Ketika Baitul Mal penuh, beliau memerintahkan agar diberikan kepada fakir miskin, untuk modal usaha. Di masa kepemimpinannya yang kurang dari 3 tahun, tidak dijumpai lagi mustahik zakat, karena rakyatnya telah sejahtera.
Konsep menghidupakan tanah mati (Ihya’ al-Mawat) menjadi instrumen tersebarnya harta. Dalam Islam, siapa saja boleh menghidupkan tanah mati (tanah yang tidak dimiliki dan tidak digarap) untuk dijadikan ladang atau kebun, dan tanah itu otomatis jadi miliknya. Dengan begitu, orang tidak terpaksa menjadi buruh murah karena berpeluang mengolah tanahnya sendiri.
Seluruh solusi yang ditawarkan Islam hanya akan terwujud dalam penerapan Islam kaffah. Di saat itulah suasana keimanan (jawul iimani) akan tumbuh subur sebab dihidupkan oleh negara. Corak kehidupan umat, berorientasi surga. Maka wajar jika darinya lahir peradaban yang tinggi dengan umat terbaiknya (khairu ummah). Orientasi bekerja dalam Islam, bukan lagi untuk memperoleh materi semata, melainkan untuk ibadah.
Kerja menjadi sarana ibadah, untuk mendekatkan diri dan menggapai rida Allah. Dengan tatanan kehidupan yang disandarkan kepada Allah SWT, maka seseorang bisa berprestasi, mengambil pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan manfaatnya, bukan sekadar bertahan hidup.
Inilah keindahan Islam yang mewarnai peradaban. Setiap individu berlomba dalam kebaikan dan takwa, dan memberikan karya terbaiknya bagi kemuliaan Islam. Tsumma takuunu khilaafatan ala minhajin nubuwwah.