Kebocoran Data Pribadi dan Perlindungan Diskriminatif Negara

Oleh: Dewi Royani, M.H.
Lensa Media News – Memperoleh jaminan keamanan di negeri ini menjadi salah satu hal yang cukup sulit diharapkan. Pasalnya, saat ini aktivitas kriminal tak lagi hanya di dunia nyata, kini aktivitas tersebut telah merambah ke dunia maya. Salah satunya kasus kebocoran data pribadi. Sebagaimana dilansir dari Republika.co.id (03/09/2021), data pribadi nomor induk kependudukan (NIK) Presiden Joko Widodo (Jokowi) bocor dan beredar di dunia maya. NIK Jokowi diketahui dari sertifikat vaksinasi di aplikasi Peduli Lindungi yang bisa diakses oleh orang lain. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, sebenarnya kebocoran NIK bukan hanya terjadi pada Presiden Jokowi, tetapi juga dialami oleh pejabat-pejabat penting lainnya.
Isu kebocoran data pribadi ini bukan kali pertama terjadi. Tentu masih belum hilang dari ingatan kasus yang menimpa situs e-commerce Bukalapak tahun 2019, data yang bocor sebanyak 12,9 juta. Kebocoran data pun terjadi pada Tokopedia di tahun 2020, data yang bocor sebanyak 90 juta. Dan kasus kebocoran data yang paling fantastis adalah kasus kebocoran 279 juta data dari BPJS Kesehatan di bulan Mei tahun 2021. Di bulan Juli tahun 2021, 2 juta data nasabah perusahaan asuransi BRI Life juga diduga bocor, bahkan diperjualbelikan di dunia maya.
Berulangnya kasus kebocoran data pribadi menyebabkan publik menjadi khawatir dan mempertanyakan mengapa insiden tersebut seringkali terjadi dan seakan tidak ada penegakan hukumnya. Publik menyaksikan insiden kebocoran data pribadi seakan selesai cukup dengan adanya pemberitaan saja. Korporasi dan instansi terkait, seakan cukup memberitahukan kepada publik dengan mengeluarkan pernyataan dan klarifikasi saja. Apa yang menjadi sumber masalahnya? Apa karena tidak ada instrumen hukum yang menjamin keamanan data pribadi?
Dikutip dari Detik.com Guru Besar Fisip Unair Prof Henri Subiakto mengungkapkan penyebab kebocoran data pribadi terjadi karena minimnya cyber security di Indonesia. Tenaga yang kompeten dalam cyber security tidak sebanding dengan perkembangan digital sehingga terjadi gap.
Sementara wakil ketua LPSK Manager Nasution mengatakan terkait kebocoran data pribadi Presiden, pemerintah dinilai teledor. Publik heran bagaimana bisa data pribadi seorang Presiden bocor. Sistem perlindungan data pribadi warga negara memang sangat lemah (Mediaindonesia.com, 05/09/2021).
Sudah semestinya hal ini menjadi tamparan keras bagi pemerintah sebagai pemangku dan pembuat kebijakan. Dimana data pribadi jelas rawan disalahgunakan untuk suatu kepentingan. Oleh karena itu, negara harus memaksimalkan perannya untuk mencari solusi dan memberikan jaminan perlindungan keamanan data untuk semua warga negara, bukan hanya para pejabat.
Adapun usulan untuk segera disahkannya Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) kiranya bukan satu-satunya solusi yang tepat. Sebab selama negara ini masih menggunakan sistem kapitalisme demokrasi dalam mengatur negaranya, maka undang-undang yang ada hanya akan menjadi pajangan. Undang-undang tersebut terkadang sulit menjadi instrumen hukum yang akan menjerat pelakunya dengan tegas. Ketika sistem kapitalisme demokrasi tidak bisa diharapkan memberikan jaminan keamanan, kepada siapa masyarakat berharap?
Islam sebagai sistem mulia dapat menyelesaikan setiap persoalan secara tuntas, termasuk dalam hal keamanan masyarakat. Rasulullah saw., telah menjelaskan bahwa seorang pemimpin adalah sebagai ra’in atau pengurus dan junnah atau pelindung bagi seluruh rakyatnya baik itu muslim maupun non muslim, tanpa membedakan jenis kelamin maupun strata sosialnya.
Islam melalui institusi negara akan membuat instrumen teknologi dan sumber daya manusia yang mumpuni agar keamanan data pribadi masyarakat dapat terjamin dengan baik. Antar lembaga negara yang berkaitan juga bekerja sama saling bersinergi, sehingga tak terjadi tumpang tindih wewenang. Pun dibutuhkan juga instrumen hukum yang terealisasi dalam aturan yang jelas, sehingga tak terjadi tarik ulur kebijakan yang berpeluang semakin melemahkan jaminan keamanan.
Tak cukup di situ, negara pun berdaulat penuh secara mandiri dalam penyediaan teknologi informasi, sehingga tidak terjebak menggunakan teknologi dari asing dengan risiko dikendalikan oleh mereka. Negara harus berupaya sungguh-sungguh untuk melakukan inovasi teknologi dalam rangka mencegah kebocoran data untuk kepentingan imperialisme digital.
Inilah yang seharusnya dilakukan negara. Negara tidak bertindak diskriminatif terhadap perlindungan data para pejabatnya saja atau membuat undang-undang tambal sulam atas permasalahan yang ada. Sehingga jaminan keamanan dan kenyamanan masyarakat bukanlah hal yang mustahil diperoleh dalam Islam melalui naungan institusi Khilafah Islamiah.
Wallahu a’lam bishshawab.
[ah/LM]