Ketika Adab Menjadi Cahaya yang Padam

Oleh Nadisah Khairiyah
LensaMediaNews.com, Opini_ Beberapa waktu lalu, jagat pendidikan Indonesia kembali dihebohkan. Seorang kepala sekolah dilaporkan ke polisi bukan karena korupsi, bukan pula karena tindak asusila tapi karena menegur dan menampar siswanya yang merokok di sekolah. Ironisnya, ratusan siswa justru berpihak kepada pelanggar aturan. Mereka melakukan aksi mogok dan menuntut sang kepala sekolah dipecat.
Di sisi lain, seorang mahasiswa Universitas Udayana mengakhiri hidupnya karena diduga tak kuat menanggung perundungan. Tragisnya, bahkan setelah meninggal pun, ejekan tetap berlanjut di grup WhatsApp kampus.
Kisah-kisah ini seperti potret buram dunia pendidikan kita tempat yang seharusnya menumbuhkan adab dan akhlak, kini justru kehilangan ruhnya.
Dan di tengah itu semua, sebuah tayangan televisi menggambarkan santri yang mencium tangan gurunya sebagai tindakan feodal. Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kita.”
(HR. Al-Qurthubi)
Lalu hati pun bertanya lirih: Ke mana arah pendidikan kita jika adab dipandang usang, dan penghormatan dianggap feodal?
Akar dari Krisis ini
Masalah pendidikan karakter di negeri ini bukan semata soal perilaku murid yang berubah atau guru yang kehilangan wibawa. Akar masalahnya jauh lebih dalam ia bermula dari sistem yang memisahkan ilmu dari iman, dan pendidikan dari wahyu.
Sekularisme telah mengubah arah pendidikan: dari upaya membentuk insan berkepribadian mulia, menjadi sekadar tempat mencari bekal dunia kerja. Anak-anak kehilangan makna hidup; guru pun banyak yang kehilangan arah keteladanan.
Padahal, sebagaimana diingatkan Imam al-Qusyairi:
“Siapa yang tidak mampu menanamkan adab pada dirinya, maka orang lain tak akan belajar adab darinya.”
Kita sedang hidup di zaman di mana ilmu dilepaskan dari nilai, dan akhlak tak lagi menjadi ukuran keberhasilan. Maka tak heran bila kecerdasan tak lagi melahirkan kebijaksanaan, dan sekolah tak lagi melahirkan insan beradab.
Tujuan Pendidikan yang Terlupakan
Islam datang bukan hanya untuk mencerdaskan akal, tapi untuk menyucikan jiwa. Allah SWT berfirman:
“Dialah yang mengutus di tengah kaum yang ummi seorang Rasul dari kalangan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan hikmah.”
(TQS. Al-Jumu‘ah [62]: 2)
Pendidikan dalam Islam membentuk syakhshiyyah Islamiyyah kepribadian Islam yang menyatukan pola pikir (‘aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah) dalam bingkai akidah.
Karena itu para ulama dahulu selalu menasihatkan:
“Pelajarilah adab sebelum kalian mempelajari ilmu.”
Mereka paham bahwa adab adalah fondasi dari seluruh ilmu. Tanpa adab, ilmu hanya menjadi alat untuk menipu, menguasai, atau merusak. Tetapi dengan adab, ilmu menjadi cahaya yang menuntun kepada kemuliaan.
Ketika Adab dan Ilmu Menyatu
Sejarah Islam telah membuktikan ketika pendidikan berpijak di atas akidah Islam, lahirlah generasi yang gemilang.
Dari madrasah-madrasah di bawah naungan Khilafah ‘Abbasiyah, lahir para ilmuwan seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Biruni. Mereka bukan hanya jenius, tapi juga hamba yang tunduk kepada Allah.
Khalifah al-Ma’mun membangun Baitul Hikmah di Baghdad, menjadikannya mercusuar ilmu dunia. Di tempat itulah iman dan ilmu berpadu, menciptakan peradaban yang menebar cahaya ke seluruh penjuru bumi.
Mengembalikan Cahaya itu
Kini, krisis pendidikan karakter tak bisa diselesaikan hanya dengan mengganti kurikulum atau menambah jam pelajaran agama.
Masalah ini bukan soal teknis, tapi soal arah ke mana pendidikan ini membawa generasi kita?
Selama sistemnya masih sekuler, selama iman hanya dianggap tambahan pelengkap, maka kita akan terus kehilangan makna.
Pendidikan yang menumbuhkan akhlak hanya bisa lahir dari sistem yang menjadikan wahyu Allah sebagai asas bukan dari sistem yang meminggirkan agama.
Negaralah yang seharusnya menjadi pelindung ilmu, penjaga adab, dan pengarah akal umat.
Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Imam (Khalifah) adalah pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ketika negara berpijak pada syariah, pendidikan menjadi cahaya yang menuntun, bukan sekadar industri yang mencetak tenaga kerja.
Dari rahim pendidikan Islam itulah akan lahir generasi ulama dan mujahid generasi yang berilmu, beriman, dan beradab.
Menjadi Bagian dari Gerakan Cahaya
Namun cahaya-cahaya itu tidak boleh dibiarkan menyala sendiri-sendiri.
Ia harus dikumpulkan, diarahkan, dan dijaga agar menjadi sinar besar yang mampu menembus gelapnya sistem sekuler yang telah lama memisahkan manusia dari Tuhannya.
Karena sejatinya, sistem kehidupan yang berlandaskan Al-Qur’an bukan hanya untuk umat Islam,
tapi untuk seluruh manusia agar hidup ini kembali berkah, adil, dan penuh kasih.
Seruan Al-Qur’an adalah seruan untuk kemanusiaan; bukan untuk memaksa beribadah,
tetapi untuk menata kehidupan dengan aturan Sang Pencipta kehidupan.
Ketika manusia hidup dengan sistem yang berpijak pada wahyu,
kehidupan akan kembali menemukan keseimbangannya antara akal dan rasa, antara dunia dan akhirat, antara hak dan kewajiban.
Dan itulah makna sejati dari kembalinya cahaya peradaban Islam:
sebuah gerakan penuh cinta, bukan paksaan;
gerakan menuju rahmat bagi semesta, bukan dominasi bagi dunia.
Menyalakan dari Diri Sendiri
Mungkin kita belum bisa langsung mengubah sistem besar itu.
Tapi kita bisa memulai dari diri sendiri dari ruang kecil tempat kita mengajar, membina, dan mendidik. Mari hidupkan kembali adab di rumah, di kelas, di hati anak-anak kita. Mari ajarkan bahwa ilmu tanpa iman akan membuat manusia kehilangan arah.
Dan bahwa menghormati guru bukan budaya feodal, tapi jalan menuju keberkahan ilmu.
Jika setiap guru menanamkan kembali adab pada dirinya, setiap murid menumbuhkan hormat pada gurunya, dan setiap keluarga menegakkan nilai-nilai Islam dalam keseharian, maka satu cahaya akan menyala. Lalu cahaya lain.
Hingga semuanya bersatu menjadi pelita yang menerangi negeri.
Karena sejatinya, pendidikan bukan sekadar tentang masa depan, tetapi tentang siapa yang kita jadikan Tuhan dalam proses belajar itu.
“Yang terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an.”
(HR. Al-Bukhari)
Semoga dari rahim pendidikan Islam lahir kembali generasi yang mencintai ilmu karena Allah,
berakhlak karena iman, dan beramal karena ingin memuliakan kehidupan.
و الله اعلم بالصواب
