Marak Kasus Keracunan Produk Impor, Mengapa?

Oleh: Ummu Haidar
LenSa Media News–Jajanan La Tiao asal China ditarik dari pasaran oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI. Penarikan itu bermula dari kejadian luar biasa keracunan pangan (KLBKP) di sejumlah wilayah.
Antara lain Lampung, Sukabumi, Wonosobo, Tangerang Selatan, Pamekasan, hingga Riau. Adapun korban keracunan mayoritas anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar (SD). Biasanya, jajanan ini didapat dari oleh-oleh atau bawaan langsung dari China.
Setelah dilakukan uji laboratorium, ada empat jenis jajanan La Tiao yang terdeteksi mengandung bakteri bacillus cereus. Bakteri itu dapat memicu sejumlah keluhan akibat cemaran, yakni mual, diare, muntah, hingga sesak napas (cnbcindonesia.com, 02-11-2024).
Masalah Keamanan Pangan
Kasus keracunan makanan akibat produk latiao yang memicu kejadian luar biasa, membuka memori akan kasus serupa di tahun 2022. Kasus gagal ginjal akut akibat obat sirop yang mengandung cemaran zat kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) diluar ambang batas aman. Hingga Februari 2023, terdapat 326 kasus gagal ginjal akut yang tersebar di 27 provinsi tanah air.
Berdasarkan jumlah tersebut, 204 anak meninggal dan sisanya sembuh. Setelah penyelidikan menyeluruh, kasus berakhir dengan pengumuman empat perusahaan farmasi yang menjadi tersangka.
Bertolak dari kasus ini, lembaga negara terkait mestinya mengambil pelajaran berharga. Seperti BPOM, Kementrian Kesehatan, Kementrian Perdagangan hingga Kementrian Perindustrian.
Dimana mereka harusnya melakukan evaluasi dan penyelidikan menyeluruh guna mempertanggungjawabkan tugas mereka dalam menjamin keamanan obat dan pangan pada masyarakat. Bukan malah saling lempar tanggungjawab.
Pada akhirnya, wajar jika kejadian luar biasa pada produk makanan latiao membuat publik geram. Sebab alih-alih mengambil langkah antisipasi, agar hal serupa tidak terulang kembali.
Wujud kelalaian negara dalam memastikan keamanan produk obat dan pangan yang beredar di masyarakat justru terkuak kembali. Rasa aman serta jauhnya potensi produk obat dan pangan dari kandungan membahayakan tak kunjung terealisasi. Bahkan tingkat ancaman bagi kelangsungan peradaban dan generasi kian tinggi.
Menggugat Tanggung jawab Negara
Dua kasus kejadian luar biasa yakni gagal ginjal akut dan keracunan latiao sejatinya menunjukkan kelambatan negara dalam berbenah. Apalagi korbannya adalah anak-anak yang notabene calon penerus masa depan bangsa. Negara harusnya serius belajar dari keteledoran kasus KLB sebelumnya.
Negara juga harus mengambil tanggung jawab jika terjadi keracunan maupun ketika muncul masalah yang menyebabkan nyawa anak terancam. Hal ini disebabkan karena sebagai pengurus rakyat, negara wajib memastikan dan menjamin keamanan produk yang beredar. Termasuk untuk produk impor.
Sayangnya, dalam sistem sekuler kapitalisme, minimnya tanggung jawab negara merupakan hal yang niscaya. Peran negara hari ini hanya sebatas regulator semata. Bukan pelayan akan kebutuhan rakyatnya. Wajar saat ada kejadian luar biasa keracunan maupun kasus gagal ginjal akut, para pejabat negara cenderung “cuci tangan” atas persoalan yang ada.
Hingga penindakan terhadap kasus tindak kriminal hanya fokus pada pelaku industri yang memproduksi dan mendistribusikannya. Belum ada itikad baik dari lembaga terkait seperti BPOM maupun Kemenkes untuk bertanggung jawab atas kelalaiannya dalam pengawasan dan uji kelayakan pangan yang berada dibawah kewenangannya.
Islam Menjamin Keamanan Produk Beredar
Islam menetapkan bahwa setiap pemimpin merupakan pengurus yang bertanggung jawab atas apa yang diurusnya. Penguasa wajib bertanggung jawab atas seluruh rakyat yang dipimpin olehnya. Maka terhadap tiap kelalaian pejabat dibawahnya, penguasa harus bersikap tegas dan memberi sanksi atasnya.
Islam juga mewajibkan kepada negara untuk menjamin keamanan pangan masyarakat dengan berbagai mekanisme berikut, Pertama, mengatur regulasi industri makanan dan minuman agar sesuai standar halalan tayyibah. Hal ini memastikan produk yang beredar dimasyarakat tidak mengandung bahan berbahaya, halal, tidak memicu penyakit degeneratif dan mengancam nyawa.
Kedua, mengoptimalkan peran lembaga al-hisbah. Tugas lembaga ini melakukan inspeksi pengawasan dan pengontrolan pangan terkait upaya mencegah penipuan, pengurangan takaran maupun timbangan serta memastikan kualitas produk yang layak dan aman dikonsumsi mulai dari proses produksi, distribusi hingga sampai ke konsumen.
Ketiga, sosialisasi dan edukasi terpadu terkait kriteria produk halal dan tayyib pada masyarakat. Baik melalui lembaga pelayanan kesehatan maupun media massa.
Keempat, menindak tegas pelaku industri dan siapa saja yang menyalahi ketentuan regulasi terkait peredaran obat dan makanan. Dengan demikian negara dalam naungan Islam dipastikan akan mampu mencegah sekaligus memberi pelayanan terbaik bagi terjaminnya pemenuhan kebutuhan produk obat dan makanan yang halal dan tayyib bagi masyarakat. Wallahu a’lam. [LM/ry].