MBG Pesantren dan Madrasah, Penting atau Latah?

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
LenSaMediaNews.Com–Peluncuran Gerakan Nasional: Pekan Makanan Bergizi Santri dan Siswa Madrasah, menjadi rangkaian Milad Emas ke-50 MUI yang digelar oleh Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga (KPRK) MUI di Yayasan Al Jihad Sholahuddin Al Ayyubi di Tanjung Priuk, Jakarta Utara, Kamis, 24 Juli 2024.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof KH Ma’ruf Amin menyebut program Makanan Bergizi Gratis (MBG) memenuhi dua program Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pertama, merupakan program khadimul ummah (pelayan umat), karena umat mendapatkan makanan bergizi agar daya tahannya kuat dan cerdas.
Kedua, MBG adalah programnya pemerintah, sementara MUI adalah mitranya pemerintah. MUI memiliki tanggung jawab multi sektor, yang ujungnya adalah penyiapan sumber daya manusia yang unggul. Apalagi menurut mantan wakil presiden RI ke-13 ini, program MBG memiliki manfaat yang sangat besar karena akan mengubah tampilan generasi bangsa yang akan datang (republika.co.id, 24-7-2025).
Sekretaris Jenderal MUI Buya Amirsyah Tambunan juga menyampaikan dukungannya dan mengatakan program ini akan membuat anak-anak Indonesia tumbuh dalam kondisi yang kuat dan cerdas.
Kebijakan Latah Seberapa Penting?
Sebagai manifestasi kaum muslim di Indonesia, MUI menjadi rujukan atas setiap persoalan yang menimpa masyarakat muslim pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Termasuk jika mengatakan MUI sebagai mitra pemerintah dan memiliki tanggungjawab multisektor.
Namun semua ini tentu dalam ranah pemikiran, bukan eksekutor sebagaimana pemerintah. Jika demikian yang terjadi, apa bedanya dengan pemerintah? Pembangunan generasi yang kuat dan cerdas bukan semata dari MBG, melainkan kebijakan di segala sektor secara keseluruhan yang dijalankan negara tanpa melibatkan asing bahkan meratifikasi kebijakan global.
Masalah pemenuhan gizi sebenarnya ada pada pundak setiap ayah sebagai kepala keluarga, maka negara harus menjamin mereka mudah mencari nafkah, tidak membebani dengan biaya mahal untuk kebutuhan pokok bahkan tidak memungut pajak untuk pos pendapatan APBN. Jika hari ini belum bisa terwujud, disebabkan negara mengadopsi sistem Kapitalisme yang asasnya sekular.
Semestinya, MUI memberikan masukan bagaimana pandangan Islam yang benar terkait peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya. Islam adalah agama paripurna, sebagai wadah berkumpulnya ulama, tentu bukan hanya mengurusi halal haram, tapi juga memastikan setiap muslim menerapkan Islam secara kâfah.
Program MBG, adalah bagian dari kebijakan Kapitalisme, bersifat populis, namun tidak menyentuh akar persoalan. Mengapa malah memilih latah? Bukankah ketika seorang muslim meyakini Al-Qur-an adalah Wahyu Allah, maka bukan hanya membacanya yang berpahala, namun juga menerapkannya?
Peran Para Ulama dalam Islam
Peradaban Islam yang gemilang dan hingga kini belum ada yang bisa menandingi kecemerlangannya tidak hanya dibangun oleh masyarakat dan kepala negaranya, Khalifah, tapi juga sumbangsih para ulamanya.
Para Khulafaur Rasyidin tak sekadar orang yang beriman kepada kerasulan Muhammad Saw. Tapi juga para ulama yang menerima Islam dalam iman dan penerapannya. Mereka Mujtahid, pemimpin umat dan memimpin dengan syariat Allah. Mereka ditempat sendiri oleh Rasulullah, sehingga menjadi manusia mulia.
Demikian pula dengan Muhammad Al-Fatih, penakluk Konstantinopel. Khalifah Turki Utsmani ke-7 yang juga dikenal dengan nama Sultan Mehmed II. Dibalik kehebatan dan kecerdasannya ada ulama yang tegas dan iklas membimbing dan senantiasa menjaga agar tak lepas dari syariat Allah. Para ulama itu adalah Syekh Aq Syamsuddin dan Syekh Al-Kaurani. Mereka berdua memberikan pengaruh besar dalam pengembangan wawasan, politik, dan keahlian militernya. Bukan pengambil kebijakan, namun memberikan wawasan dan pemahaman.
Demikian pula pada masa perjuangan, para ulama berada di garda terdepan menyerukan penjajahan haram, harus dihapuskan dari bumi Allah, sehingga muncullah Resolusi Jihad yang diprakarsai oleh ulama Surabaya, khususnya KH. Hasyim Asy’ari, berupa seruan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang kemudian memicu pertempuran 10 November di Surabaya.
Kini penjajahan memang bukan mengangkat senjata, namun lebih tajam dan menyakitkan. Yaitu perang pemikiran, yang merusak kaum muslim berikut generasi penerusnya. Ulamalah yang seyogyanya mengubah ini, dengan mengembalikan taraf berpikir umat bahwa mereka punya syariat, dan sudah seharusnya mencampakkan sistem kehidupan yang bertentangan dengan syariat.
Ulama garda terdepan, mengusir penjajah yang mengeruk kekayaan alam milik umat atas nama investasi atau hilirisasi. Memungut pajak atas rakyat dengan jargon rakyat bijak taat pajak. Kaum muda yang seharusnya menjadi pembela Islam malah berkiblat pada cara pandang barat yang bebas tanpa batas. Padahal itulah bukti negara kita dikuasai Kapitalisme, dan harus dienyahkan. Wallahualam bissawab. [LM/ry].