Meneropong Bahaya Liberalisasi Budaya dalam Film Kucumbu Tubuh Indahku

liberalisasi budaya

Oleh: Iiv Febriana

(Komunitas Muslimah Rindu Khilafah Sidoarjo)

 

LensaMediaNews- Garin Nugroho, seorang master di bidang perfilman beberapa waktu lalu menghebohkan khalayak dengan karya filmnya berjudul ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ (KTI). Film yang mulai tayang di bioskop mulai 18 April 2019 diangkat berdasarkan kisah nyata seorang penari Lengger Lanang bernama Riyanto yang dalam film diganti menjadi Juno. Tarian khas tradisional Banyumas ini menitik beratkan pada penampilan penari laki-laki yang menyerupai perempuan. Para penari Lengger dituntut meleburkan sisi maskulin dan feminim dalam satu tubuh (Tabloidbintang.com,21/04/2019).

Film ini di kancah Internasional mendapatkan penghargaan dari UNESCO. Sampai hari ini, film ini setidaknya telah meraih penghargaan dari Bisato D’oro Award Venice Independent Film Critic di Italia tahun 2018, Film Terbaik pada Festival Des 3 Continents di Perancis tahun 2018, dan Cultural Diversity Award under The Patronage of UNESCO pada Asia Pasific Screen Awards di Australia tahun 2018 (Todayline.me, 15/04/2019).

Melihat judulnya dan trailernya saja sudah sangat provokatif. Di dalamnya seorang anak kecil dipaksa beradegan tak pantas. Tak heran film ini menuai berbagai kecaman, bahkan sebuah petisi online dibuat untuk menolak penayangan KTI. Sejumlah daerah juga menyatakan penolakan, diantaranya Garut, Depok, Palembang, dan Pontianak. Materi film KTI dianggap kontroversial karena menampilkan penyelewengan orientasi seksual. Mulai penari laki-laki yang didandani dan menari ala perempuan serta tokoh utama pria yang menyukai sesama jenis dalam balutan budaya warok dan gemblak.

Warok adalah orang yang dipercaya mempunyai ilmu dalam pengertian kejawen. Ia juga sering berperan sebagai pemimpin lokal informal dengan banyak pengikut. Dalam pencapaian ilmunya dia tidak berhubungan dengan wanita, melainkan dengan bocah lelaki berumur 8-15 tahun tampan yang acap kali disebut gemblak. Hubungan warok dan gemblak inilah yang mengarah pada homoseksualitas.

 

Budaya Tradisional dalam Balutan “Budaya Global”

Bukan kali pertama kemunculan film yang berwarna LGBT. Sebelumnya ada film Arisan, I Know What You Did on Facebook, Lovely Man, Berbagi Suami, dan Selamat Pagi Malam. Namun yang menjadikan KTI “berbeda” dengan film-film tersebut adalah eksploitasi sisi-sisi kelainan seksual dalam balutan nuansa tradisional yang kental, dimana hal ini masih dianggap tabu. Isu-isu semacam ini sangat digemari di kancah Internasional sehingga tidak heran KTI memenangkan begitu banyak penghargaan.

Seni peran dalam sudut pandang kapitalisme memang seperti itu standarnya. Dikatakan baik jika mengusung budaya dan gaya hidup Barat. Namun di negeri yang mayoritas muslim, kualitas karya seni tidak bisa dikatakan bagus jika menabrak norma-norma agama, apalagi jika di dalamnya ada promosi budaya Barat yang bisa membahayakan generasi muda dan melegitimasi perilaku menyimpang yang sudah “menjangkit” di sebagian masyarakat. Sehingga masyarakat umum akan berpikir, hal demikian (LGBT) adalah wajar adanya. Pergeseran standar baik-buruk inilah yang berbahaya. Masyarakat bisa menjadi permisif terhadap berbagai penyimpangan perilaku seksual yang ada, sehingga virus ini akan semakin mudah masuk ke segala sendi kehidupan dan merusak manusia yang ada di dalamnya.

 

Kesenian dalam Islam

Selama measih berasaskan pada sistem Kapitalis-liberal, kita tidak bisa berharap film-film yang beredar akan steril dari nilai-nilai liberalisme. Ada pundi-pundi uang yang dikejar. Selama mendatangkan keuntungan secara materi maka kemunculan karya-karya semacam ini akan terus terulang kembali. Perlu langkah yang sistemik untuk mengubah standar berpikir masyarakat. Bahwa selama standar baik-buruk jika dikembalikan pada akal manusia yang terbatas, maka yang ada kita akan dipertuhankan oleh hawa nafsu. Siapa yang kuat dialah yang menentukan standarnya, yaitu para kapital (pemodal).

Sudah seharusnya standar hidup manusia harus kembali kepada yang menciptakan manusia dan alam semesta, Allah SWT. Islam sesungguhnya tidaklah kaku, kesenian juga merupakan salah satu bidang ilmu yang dikembangkan pada masa kejayaan Islam. Secara umum, dunia seni dapat dibagi dalam 5 macam yaitu seni rupa, seni sastra, seni suara termasuk musik, seni gerak termasuk balet atau akrobat, dan seni peran misalnya teater.

Dalam seni peran (teaterikal) bisa dimainkan oleh orang maupun dalam bentuk boneka, yang di Indonesia kemudian berkembang dalam bentuk wayang. Seni ini sudah dikenal di masa Abbasiyah. Kebolehan drama peran didasarkan pada anggapan bahwa dia termasuk dalam bidang muamalah. Dan hukum asal dari masalah muamalah adalah boleh (ibahah) dengan syarat tema atau topiknya tidak haram dan tidak bersamaan dengan sesuatu atau perilaku yang haram. Contoh perilaku yang haram seperti persentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, menampakkan aurat, memainkan peran minum minuman keras (minol), dan lainnya.

Wallahu’alam bishshawab.

[LS/Ah]