Menjaga Arah di Tengah Banyak Tawaran

Al-Qur'an

 

Oleh Nadisah Khairiyah

 

 

LensaMediaNews.com, Aqliyah_

Refleksi dari Surat Saba’ dan An-Nisa’ untuk Umat dan Pesantren

Allah ﷻ berfirman:
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan.”
(TQS. Saba’ [34]:28)

Ayat ini menegaskan bahwa Islam bukan agama untuk sekelompok orang, bukan hanya “agama umat Islam” sebagaimana sering ditanamkan sejak kecil di sekolah-sekolah umum, tetapi risalah untuk seluruh manusia. Karena itu, setiap aturan di dalam Al-Qur’an sejatinya adalah panduan hidup universal bukan hanya untuk dibaca dalam tadarus, tetapi untuk diterapkan di seluruh aspek kehidupan.

 

Namun, perlahan tapi pasti, umat Islam dibuat jauh dari Al-Qur’an.
Sejak kecil, kita diajarkan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, Injil untuk umat Kristen, Taurat untuk umat Yahudi. Kalimat sederhana itu, tanpa disadari, telah menanamkan benih sekularisme dalam jiwa anak-anak kita, seolah ajaran Al-Qur’an tidak wajib dijadikan aturan hidup di dunia.

 

Inilah bagian dari proyek besar pemisahan agama dari kehidupan.
Dulu, di masa penjajahan, Snouck Hurgronje menjadi tokoh yang memetakan bagaimana Islam bisa “dijinakkan” di Indonesia. Ia meneliti umat Islam, lalu menyarankan agar Islam boleh berkembang sebagai ibadah dan akhlak, asal jangan masuk ke wilayah politik dan pemerintahan.

Kini, strategi serupa muncul dalam wujud lebih modern: lembaga-lembaga riset seperti Rand Corporation di Amerika yang mengeluarkan rekomendasi agar dunia Islam, termasuk pesantren, diarahkan menjadi “Islam moderat”, “Islam toleran”, dan “Islam kompatibel dengan demokrasi Barat.”

 

Allah ﷻ telah memperingatkan dengan tegas:
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.”
(TQS. An-Nisa [4]:141)

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin.”
(TQS. An-Nisa [4]:144)

Ayat ini bukan hanya larangan politik, tetapi peringatan ideologis: jangan serahkan arah pendidikan, pendanaan, dan pemikiran umat kepada mereka yang tidak beriman kepada Islam. Sebab kepemimpinan bukan sekadar tentang siapa yang memerintah, tapi juga siapa yang mengatur cara berpikir dan cara hidup.

 

Maka di sinilah pentingnya peran pesantren benteng terakhir umat.
Pesantren tidak boleh hanya menjadi tempat belajar fiqih dan tahsin, tetapi juga tempat mencetak generasi yang memahami politik global dengan pandangan Islam, dan mampu membaca setiap upaya halus yang ingin menjauhkan umat dari syariat Allah.

 

Untuk itu, ada enam langkah strategis yang perlu dijaga dan dijalankan bersama:
• Selektif terhadap kerja sama internasional.
Setiap tawaran bantuan, beasiswa, atau proyek dari lembaga asing harus diperiksa latar belakangnya. Bila mengandung agenda sekuler seperti moderasi beragama, demokrasi, atau kesetaraan gender khas Barat, maka wajib ditolak.

• Bangun jaringan pendidikan Islam mandiri.
Kuatkan kerja sama antar pesantren dan lembaga Islam lintas negara Muslim untuk memperkuat kemandirian keilmuan dan spiritual, tanpa bergantung pada pendanaan asing.

• Perkuat kurikulum ideologis Islam.
Tanamkan pemikiran Islam yang utuh (aqliyah dan nafsiyah Islamiyyah) agar santri tidak mudah terpengaruh ideologi asing.

• Tingkatkan literasi geopolitik bagi asatidz dan santri.
Pesantren harus membuka wawasan tentang politik global dari kacamata Islam agar mampu bersikap kritis terhadap “bantuan” yang sesungguhnya adalah instrumen soft power penjajahan modern.

• Teguhkan independensi pesantren.
Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tapi penjaga kemurnian aqidah dan benteng pertahanan ideologi Islam dari arus globalisasi pemikiran dan budaya Barat.

• Kembalikan tujuan pendidikan Islam.
Orientasi pendidikan harus melahirkan syakhshiyyah Islamiyyah pribadi yang berpikir, berperasaan, dan berperilaku berdasarkan akidah Islam.

 

Inilah saatnya pesantren dan lembaga pendidikan Islam kembali menegaskan jati dirinya. Bukan sekadar tempat mencetak lulusan, tetapi kawah candradimuka para penjaga peradaban Islam.
Karena dari pesantrenlah akan lahir generasi yang bukan hanya hafal ayat, tapi juga mampu menegakkan maknanya di muka bumi.

و الله اعلم بالصواب