Menuju Zero Kemiskinan Ekstrem di Bekasi, Mungkinkah Hanya Basa-basi? 

Kemiskinan ekstrem _20231124_202425_0000

Menuju Zero Kemiskinan Ekstrem di Bekasi, Mungkinkah Hanya Basa-basi?

 

Oleh: Irma Sari Rahayu

 

LenSaMediaNews.com – “Kemiskinan ekstrem merupakan ancaman bagi keamanan manusia di mana pun.” — Kofi Annan, Sekretaris Jenderal Ketujuh PBB.

 

Kemiskinan, adalah kondisi yang menjadi momok bagi seluruh negara. Tak terkecuali negara Indonesia tercinta. Kondisi yang tidak selayaknya terjadi di negeri berlimpah sumber daya alam ini. 

 

Baru-baru ini pemerintah Kabupaten Bekasi menerima penghargaan Insentif Fiskal dalam kategori Upaya Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem Tahun Anggaran 2023. Penghargaan tersebut diberikan atas keberhasilan Pemkab Bekasi menekan angka kemiskinan ekstrem hingga di bawah 2 persen. Penghargaan diserahkan langsung oleh Wakil Presiden RI, K.H. Ma’ruf Amin kepada Sekda Kabupaten Bekasi, Dedy Supriyadi di Istana Wakil Presiden RI, Jakarta (bekasikab.go.id,9/11/2023).

 

Menurut Sekda Kabupaten Bekasi Dedy Supriyadi dana insentif fiskal tersebut akan dimanfaatkan kembali untuk mendukung program-program penghapusan kemiskinan ekstrem di Kabupaten Bekasi, yang nantinya harus lebih menyentuh keluarga miskin. Program ini pun untuk mengejar target nol persen kemiskinan ekstrem di Kabupaten Bekasi dapat tercapai di tahun 2024.

 

Penghargaan ini menyisakan tanya, benarkah angka kemiskinan ekstrem telah ditekan? Sedangkan Dinas Sosial Kabupaten Bekasi mencatat masih ada 1500 warga miskin ekstrem di Kabupaten Bekasi (metro.tempo.co, 2/11/2023). Angka ini tentu tidak kecil.

 

Kategori Miskin Versi Siapa? 

Dikutip dari laman kemenkopmk.go.id, kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yakni makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan, serta layanan sosial. 

 

Dasar perhitungan tingkat kemiskinan versi BPS adalah penduduk dengan penghasilan Rp550.458 per orang per bulan dalam rumah tangga. BPS juga mencatat, rata-rata anggota keluarga dalam rumah tangga miskin mencapai 4,71 orang atau dengan kata lain batas penghasilan yang dikategorikan keluarga miskin adalah Rp2.592.657 per rumah tangga miskin per bulan. Bank Dunia dalam perhitungan terbarunya menetapkan garis kemiskinan ekstrem menjadi US$3,2 dari sebelumnya US$1,9 per kapita per hari. Dengan asumsi kurs Rp14.852,35 per dolar AS,  maka batas kelas pendapatan menengah ke atas setara dengan Rp33.238,59 per kapita per hari atau Rp997.157 per bulan. 

 

Jika menggunakan patokan BPS sebesar 4,71 orang per rumah tangga, maka besaran penghasilan dikategorikan miskin adalah rumah tangga dengan pendapatan di bawah Rp4.696.613 juta per bulan. Dengan perbedaan ini maka standar siapakah yang harus diikuti? 

 

Jika dibandingkan dengan data pengeluaran yang dirilis BPS, rata-rata pengeluaran per kapita penduduk Indonesia pada Maret 2023 adalah Rp1.451.870/kapita/bulan, yang mencakup total pengeluaran untuk konsumsi makanan dan bukan makanan. Lalu bagaimana menjelaskan selisih antara pendapatan yang lebih sedikit dan pengeluaran ini?  Masihkah kondisi besar pasak daripada tiang tidak dianggap miskin? 

 

Inilah makna kemiskinan versi sebuah negara pengemban sistem ekonomi kapitalisme. Kondisi kemiskinan hanyalah utak-atik angka di atas kertas, bukan real kehidupan masyarakat yang kian tercekik saat harga berbagai bahan kebutuhan pokok terus merangkak naik, sedangkan pendapatan tidak ada perubahan. Jika hampir 90% sumber daya alam milik umum dikuasai individu elite berduit, maka jurang perbedaan antara kaum crazy rich dan kaum papa kian menganga. Maka harus diakui, kemiskinan ekstrem di negeri ini adalah akibat sistemik bukan sekadar takdir Tuhan. Jika seperti ini, mungkinkah zero persen kemiskinan ekstrem dapat tercapai? 

 

Kondisi yang tidak akan ditemui oleh negara yang menyandarkan sistem ber-ekonominya sesuai aturan Islam. Kaum miskin, fakir dan orang-orang lemah berada dalam pengayoman negara. Khalifah akan memastikan berbagai kebutuhan dasar dapat dikecap oleh individu-individu rakyat, baik muslim maupun kafir zimi. Pembiayaannya diambil dari pos fai’, kharaj, usyur, jizyah, dan pengelolaan harta milik umum. 

 

Jika kas negara ternyata tidak mencukupi, maka kewajiban menyantuni orang miskin beralih ke pundak umat Islam yang kaya. Peralihan ini bukan berarti terlepasnya negara atas kewajibannya, tetapi sebagai dorongan wujud kasih sayang dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya.” (HR At-Thabrani).

 

Selain bantuan berupa dana, negara juga bisa memberikan bantuan berupa pelatihan keterampilan, lapangan pekerjaan, dll. Zero persen kemiskinan ekstrem pernah terjadi di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Saat itu tidak ada yang bersedia menerima sedekah karena tidak ada masyarakat miskin. 

Jika sistem kapitalisme masih menjadi landasan dalam mengelola negara ini,  maka mewujudkan zero persen kemiskinan ekstrem hanyalah basa-basi.

Wallahua’lam bishowwab.