Negara Blokir Rekening: Hak Milik atau Hak Negara?

Negara blokir rekening _20250801_194139_0000

Oleh: Nettyhera

(Pengamat Kebijakan Publik)

 

Lensa Media News- Di tengah derasnya keluhan ekonomi dari masyarakat, publik kembali disuguhkan kabar yang tak kalah mengganggu nalar: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengumumkan telah memblokir 31 juta rekening masyarakat dengan nilai fantastis mencapai Rp6 triliun. Alasannya? Karena rekening tersebut dinilai “tidak aktif”.

Sekilas, kebijakan ini terdengar seperti langkah administratif biasa. Tapi jika ditelaah lebih dalam, keputusan ini menyimpan potensi persoalan serius, tidak hanya dari sisi hukum dan kewenangan, tapi juga dari sisi moral pemerintahan terhadap harta rakyat.

 

Ke Mana Arah Negara Melangkah?

Publik tentu bertanya, sejak kapan negara berhak menyentuh dana pribadi warganya hanya karena dianggap “tidak aktif”? Banyak dari rekening yang dibekukan ini adalah milik warga biasa, pensiunan, buruh migran, pelajar, atau orang tua yang menabung demi biaya pendidikan anaknya. Sebagian besar bahkan tak tahu bahwa uang yang mereka simpan dengan susah payah kini telah diblokir oleh negara.

Lebih problematik lagi, PPATK bukanlah lembaga yudisial ataupun eksekutor hukum. Tugas utama lembaga ini adalah melakukan analisis terhadap transaksi keuangan mencurigakan, bukan melakukan pembekuan dana secara mandiri. Jika lembaga pelapor mulai berperan sebagai pelaksana eksekusi, maka ada persoalan serius dalam tata kelola kekuasaan negara.

 

Demokrasi Tapi Tak Ramah Terhadap Kepemilikan?

Ironisnya, langkah ini terjadi di negara yang kerap menyebut dirinya demokratis dan menjunjung hak asasi warga. Tapi kini, aset warga yang tidak mengganggu siapa-siapa bisa dibekukan sepihak. Apa ini bukan bentuk kriminalisasi terhadap rakyat yang “tidak aktif” dalam sistem perbankan?

Ada semacam kontradiksi besar di sini. Di satu sisi, pemerintah mendorong inklusi keuangan dan menekankan pentingnya menyimpan dana di bank. Di sisi lain, ketika rakyat mengikuti arahan tersebut tapi tidak aktif bertransaksi, mereka justru dianggap mencurigakan dan akunnya diblokir. Negara seolah kehilangan orientasi antara melindungi atau mencurigai rakyatnya sendiri.

 

Rakyat Tak Lagi Merasa Aman

Kebijakan ini bukan hanya soal rekening dibekukan. Ia menyentuh ranah yang lebih dalam, rasa aman. Dalam kondisi ekonomi yang semakin sulit, rakyat membutuhkan jaminan bahwa apa yang mereka miliki tetap menjadi milik mereka. Tapi ketika uang tabungan yang dijaga bertahun-tahun bisa hilang aksesnya dalam satu pengumuman pers, bagaimana masyarakat bisa mempercayai sistem?

Bagi sebagian kalangan, rekening tersebut adalah bentuk kepercayaan kepada sistem perbankan nasional. Tapi apa jadinya jika kepercayaan itu dibalas dengan pemblokiran sepihak tanpa notifikasi, tanpa proses, dan tanpa mekanisme yang jelas untuk memulihkan hak mereka?

 

Kapitalisme: Sistem yang Mengizinkan Negara Jadi Pemilik Segalanya

Kebijakan ini adalah buah dari sistem ekonomi kapitalistik yang menjadikan rakyat sebagai objek untuk ditarik sebanyak-banyaknya ke dalam sistem finansial negara, tapi sekaligus rentan disingkirkan jika tak dianggap menguntungkan secara fiskal.

Kapitalisme menciptakan logika bahwa aset warga bisa dikelola, dimonitor, dan bahkan dibekukan jika tak lagi sejalan dengan “keseimbangan sistem”. Dalam logika ini, negara bukan lagi penjaga hak rakyat, tapi menjadi bagian dari aktor ekonomi yang bisa mengambil keputusan atas harta milik individu dengan alasan efisiensi atau keamanan.

 

Bagaimana Islam Menjaga Hak Milik?

Berbeda dengan paradigma kapitalisme, Islam memandang kepemilikan pribadi sebagai hak yang dijaga syariat, bukan aset yang bisa diatur ulang sesuai kebutuhan fiskal negara. Islam memiliki aturan yang tegas dan proporsional terkait harta.

Rasulullah ﷺ bersabda:
Barang siapa yang mengambil hak orang lain secara zalim, maka ia akan diseret di hari kiamat dengan membawa dosa sebesar gunung.” (HR. Bukhari)

Dalam Islam, negara tidak boleh mengambil atau membekukan harta rakyat kecuali karena alasan yang sah secara syar’i, seperti pencurian, penipuan, atau ketidakadilan dalam akuisisi. Dan bahkan dalam kasus semacam itu pun, Islam menetapkan prosedur hukum yang ketat, bukan sekadar keputusan administratif sepihak.

Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam telah terbukti dalam sejarahnya menjadi pelindung hak milik. Umar bin Khattab ra., salah satu khalifah paling tegas dalam keadilan, pernah menegur aparat yang mengambil harta rakyat meski dalam keadaan darurat. Negara Islam tidak menganggap rakyat sebagai objek fiskal, tetapi sebagai amanah yang wajib dilindungi hak-haknya.

Pemblokiran rekening rakyat bukan sekadar isu administratif atau kebijakan teknis. Ini adalah cermin dari bagaimana negara memperlakukan warganya, bagaimana sistem memandang harta pribadi, dan seberapa jauh negara merasa punya hak mengatur ulang hidup rakyat.

Selama negara berdiri di atas sistem kapitalisme yang menempatkan rakyat sebagai unit ekonomi semata, maka tindakan-tindakan seperti ini akan terus berulang. Harta, tanah, bahkan data pribadi bisa menjadi milik negara kapan pun dianggap perlu.

Sudah saatnya rakyat mempertanyakan: apakah kita hanya butuh ganti pemimpin, atau ganti sistem? Sebab bila sistemnya tetap sama, sistem yang membolehkan negara merampas secara sah, maka siapa pun yang berkuasa akan tetap menjadi ancaman terhadap hak-hak rakyat.

 

[LM/nr]