ONH Turun, Siapa yang Diuntungkan?

20250523_092158

 

Nur Eva Hadiyanti

Pemerhati Sosial

 

Lensamedianews.com_ Pemerintah bersama DPR RI menyetujui penurunan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 1445 H dari Rp49,8 juta menjadi Rp45 juta (kompas.com, 24-3-2025). Di saat bersamaan, muncul rencana penguatan peran Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang akan mengambil alih sebagian besar kewenangan Kementerian Agama dalam pengelolaan penyelenggaraan haji melalui pembentukan Badan Pengelola Haji dan Keuangan Haji (BPHK). Langkah ini disebut-sebut untuk meningkatkan efisiensi dan profesionalitas tata kelola haji.

 

Namun, publik bertanya: mengapa justru di tengah inflasi dan kenaikan harga layanan, ONH bisa turun? Apakah ini hasil efisiensi sungguhan atau hanya manuver politis jelang tahun pemilu? Di sisi lain, penyerahan urusan haji ke lembaga seperti BPKH/BPHK yang mengelola dana lebih dari Rp150 triliun, menimbulkan kekhawatiran baru terkait transparansi dan potensi komersialisasi ibadah.

 

Fenomena ini mencerminkan pola pengelolaan ibadah dalam sistem kapitalisme sekuler. Haji bukan lagi dilihat sebagai kewajiban spiritual yang suci, melainkan komoditas yang bisa diatur logika bisnis dan kepentingan politik. Penurunan ONH di tengah kenaikan biaya akomodasi dan transportasi justru mengindikasikan ketidakwajaran. Apakah kualitas layanan akan dikorbankan? Atau justru selisih biaya ditutupi dari optimalisasi dana umat yang diinvestasikan?

 

Masalah bertambah saat BPKH yang selama ini fokus pada investasi dana haji diproyeksikan menangani langsung pelaksanaan teknis haji. Ini membuka ruang konflik kepentingan: apakah benar dana haji akan kembali sepenuhnya untuk jamaah, atau justru dimanfaatkan demi proyek infrastruktur atau kepentingan politik?   Selain itu, pembentukan BPHK bisa menjauhkan tanggung jawab negara atas pelayanan ibadah umat. Ketika lembaga semi-otonom mengelola ibadah, negara tak lagi menjadi pelayan umat, melainkan fasilitator bisnis layanan haji. Hal ini berbahaya karena membuka ruang privatisasi dan menjauhkan makna ibadah dari kesucian syariat.

 

Islam memandang haji sebagai ibadah mahdhah yang wajib difasilitasi negara secara penuh. Negara bertanggung jawab mengurus haji dengan prinsip amanah dan pelayanan, bukan mencari keuntungan. Dalam sejarah Khilafah Islam, khalifah memberikan perhatian besar terhadap pelayanan jamaah haji mulai dari keamanan perjalanan, logistik, kesehatan, hingga air minum di padang pasir, tanpa memungut biaya komersial dari umat.

 

Allah SWT berfirman: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah.” (QS Al-Baqarah: 196)

 

Ayat ini menegaskan bahwa haji adalah kewajiban agama yang pengaturannya harus bersandar pada keikhlasan dan ketundukan total kepada Allah, bukan pada kalkulasi ekonomi. Dalam sistem khilafah, pengelolaan dana haji akan dilakukan dengan sangat hati-hati, transparan, dan terfokus untuk kepentingan ibadah itu sendiri. Tidak akan ada ruang untuk spekulasi investasi atau kepentingan politik praktis. Dana yang dibayarkan oleh umat akan dipertanggungjawabkan secara syar’i dan diaudit terbuka di bawah pengawasan lembaga independen yang amanah.

 

Penurunan ONH dan pergeseran pengelolaan haji ke BPKH/BPHK menunjukkan bahwa haji makin dikelola dengan kacamata korporatis, bukan sebagai ibadah yang mulia. Selama sistem kapitalisme masih menjadi dasar pengelolaan, ibadah suci pun bisa dikomersialisasi, dan umat hanya menjadi konsumen, bukan pemilik sah hak pelayanan. Islam memberikan solusi fundamental: menjadikan negara sebagai pelayan sejati ibadah, bukan pedagang layanan. Hanya dengan penerapan syariat Islam dalam bingkai Khilafah, pengelolaan ibadah haji akan kembali sesuai fitrahnya: aman, adil, transparan, dan murni karena Allah. Maka, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Tentu saja, hanya umat yang hidup dalam naungan Islam kaffah.