Pariwisata Senjata Hadapi Tarif Reprosikal, Solutifkah?

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana mengatakan sektor pariwisata dapat menjadi alat pertahanan ekonomi nasional dalam menghadapi tekanan eksternal akibat kebijakan tarif dagang dari Amerika Serikat (AS).
Karena Indonesia memiliki potensi besar sektor pariwisata sebagai sumber devisa utama yang bebas hambatan perdagangan. Pernyataan ini merespons kebijakan ‘Tarif Timbal Balik’ yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap produk impor dari sejumlah negara, termasuk Indonesia (Republika.co.id, 5-4-2025).
Oleh karena itu, Widiyanti mengajak para pemangku kepentingan di sektor pariwisata untuk memperhatikan tiga strategi utama dalam menghadapi dinamika perdagangan global. Pertama, menjadikan sektor pariwisata sebagai “ekspor jasa” penyeimbang. Dimana kesiapan destinasi, produk wisata, usaha pariwisata, tenaga kerja, hingga promosi yang terarah perlu diupayakan secara terintegrasi agar tidak berpusat pada destinasi tertentu saja.
Kedua, optimalisasi UMKM dan ekonomi lokal penyedia jasa pariwisata. Kemenpar akan terus mengembangkan desa wisata dan mendorong aktivitas ekonomi berbasis pariwisata di seluruh Indonesia.
Ketiga, fokus pada pengembangan high-quality tourism dengan mengajak pelaku usaha pariwisata di semua destinasi untuk tidak semata-mata mengejar jumlah kunjungan, namun juga mengusahakan pengalaman wisata berkualitas yang menarik pengeluaran berwisata lebih tinggi dengan menggagas program unggulan “Pariwisata Naik Kelas”, yang berfokus pada sektor maritim, gastronomi, dan wellness.
Sejauh Apa Pariwisata Mampu Memberi Solusi?
Dalam sistem kapitalisme, mereka yang tak memiliki modal besar jelas akan kalah. Sebab eksploitasi atau penjajahan adalah ruh kapitalisme. Maka industrialisasi adalah faktor penting sebuah negara bisa bertahan dari badai ekonomi. Selain memiliki ketahanan pangan yang kuat dan mandiri. Faktanya, Indonesia bukanlah sebuah negara yang masuk dalam katagori keduanya. Meski kaya raya, Indonesia sangat bergantung kepada negara lain.
Sementara pariwisata merupakan sumber pendapatan yang rapuh karena bergantung pada stabilitas ekonomi, pengembangan destinasi berkualitas, peningkatan kapasitas SDM kepariwisataan, dan aspek lingkungan hidup. Apa yang digagas Kemenpar sangatlah butuh rancangan sekaligus pendanaan yang serius.
Selama ini sektor pariwisata meski diakui mampu menyumbang pendapatan negara maupun daerah, namun belum mampu menyejahterakan rakyat Indonesia secara keseluruhan, sebab dampak yang ditimbulkan tak bisa dianggap enteng. Mulai dari rusaknya ekosistem hingga tatanan sosial kemasyarakatan. Bukankah definisi sejahtera adalah sehat lahir dan batin?
Banyak lokasi pariwisata yang pembangunnya tidak sesuai HGB, merampas tanah adat, mengusir masyarakat lokal hingga merusak area yang semestinya menjadi cagar alam, sumber serapan air hingga penahan bencana. Kapitalisme menciptakan hubungan tak sehat antara penguasa dengan pengusaha atau para investor.
Sejatinya rakyat hari ini lebih butuh pekerjaan, dan tidak semua bisa bekerja di sektor pariwisata. Apalagi jika bergantung pada UMKM, dimana kebanyakan bahan baku untuk produkdi berasal dari ekspor, yang dari hulu hingga hilir dikuasai mafia.
Bersandar pada UMKM sebagai penggerak ekonomi sangatlah naif, karena bisa diitung berapa yang bisa tembus pasar internasional dan berapa yang bertahan di dalam negeri itu pun hanya cukup untuk menutup biaya harian. Sepanjang Kapitalisme masih menjadi dasar pengaturan perekonomian negara, jangan harap mampu bertahan bukan hanya dari dampak perang tarif Amerika tapi juga ekonomi secara keseluruhan.
Islam Solusi Paripurna
Sejatinya, Amerika sedang menunjukkan hegemoninya atas negara-negara di dunia. Sekaligus sedang mempersiapkan kuburannya sendiri. Sebagai negara pengemban Kapitalisme, jika sudah merubah uslub atau cara ia bertahan jelas pertanda ada yang tidak beres.
Perang tarif resiprokal ini hanyalah test of the water, sebab Amerika masih yakin Dollar memimpin dan belum kehilangan pengaruhnya. Kapitalisme yang lebih bertumpu pada transaksi non riil, telah menciptakan kehancurannya sendiri. Sebenarnya, inilah saatnya kaum muslim memperjuangkan tegaknya kembali sistem Islam, agar dunia lebih baik dan berkeadilan.
Dalam syariat Islam, pajak bukan sumber utama pendapatan negara, apalagi pariwisata. Sebab, pada praktiknya justru sektor pariwisata dalam sistem kapitalisme ini lebih banyak mudaratnya daripada manfaat.
Pariwisata dalam sistem Kapitalisme menabrak standar halal haram, juga menumbuhsuburkan kesyirikan dan praktik klenik yang bertentangan dengan syariat, dengan alasan kearifan lokal. Pun kerusakan sosial seperti maraknya prostitusi hingga rusaknya nasab.
Dalam Islam, pariwisata hanya untuk tadabur alam, tanpa konteks apapun. Sebaliknya wajib menjadi sarana semakin bertakwanya individu kepada Allah SWT. Pariwisata juga bukan komoditas, melainkan kekayaan alam yang dianugerahkan Allahlah yang dikelola negara untuk kemaslahatan rakyatnya. Wallahualam bissawab.
