Perceraian Meruntuhkan Keluarga dan Generasi 

Perceraian

Oleh: Sari Yuliyanti,

Pemerhati Pendidikan dan Isu Keluarga

 

 

LensaMediaNews.com, Opini_ Sudah di penghujung tahun 2025, namun angka perceraian di Indonesia masih mencemaskan. Setiap hari media televisi ataupun media sosial menyuguhkan berita perceraian yang seperti tak ada habisnya. Dalam satu tahun terakhir, data statistik menunjukkan bahwa angka perceraian masih tetap tinggi.

 

Diinformasikan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) bahwa terdapat sekitar 399.921 kasus perceraian sepanjang tahun 2024. Jawa Barat menduduki rekor tertinggi untuk kasus perceraian yaitu mencapai 88.985 kasus. Ironisnya adalah kasus perceraian ini tidak hanya terjadi di kalangan pasangan muda, tetapi juga terjadi pada pasangan usia senja (fenomena yang dikenal sebagai grey divorce). (Detik.id, 4/11/2025)

 

Tingginya angka perceraian ini tentu menjadi alarm keras bagi bangsa. Ini bukan sekadar kisah dua orang yang berpisah, tetapi cerminan dari fondasi sosial yang mulai retak. Bila keluarga runtuh, maka generasi pun kemungkinan besar akan menjadi rapuh. Lalu, bisakah bangsa ini akan semakin maju jika kebanyakan generasinya seperti itu?

 

 

Pernikahan yang Kehilangan Makna

Tingginya angka perceraian ini merefleksikan bahwa di tengah masyarakat sedang terjadi krisis pemahaman tentang makna sebuah pernikahan. Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena akan terasa pernikahan menjadi seperti permainan belaka. Siapa suka ayo gabung dalam permainan, siapa tidak suka boleh kapan saja membubarkan diri dari permainan tersebut.
Padahal, ikatan pernikahan itu bukan masalah suka atau tidak suka, melainkan tanggung jawab atas hak dan kewajiban suami istri, komitmen, komunikasi dan kemampuan mengelola konflik.

 

Jika diamati, faktor pemicu perceraian amat sangat beragam. Dimulai karena terjadi pertengkaran yang berlarut, tekanan ekonomi dalam rumah tangga, kekerasan yang dilakukan oleh pasangan, perselingkuhan, hingga kecanduan judi online (judol). Diperparah juga dengan adanya tren terbaru gen z sekarang yaitu narasi “self-love” dan “bebas dari toxic relationship” yang kerap dijadikan pembenaran untuk berpisah.
Namun jika dikaji lebih dalam ternyata akar dari semua itu adalah lemahnya fondasi nilai dan pemahaman spiritual pasangan yang menikah dalam membangun keluarga.

 

 

Generasi yang Rapuh sebagai Dampak Panjang

Ketika sebuah rumah tangga hancur maka korban utamanya bukan hanya pasangan suami istri tersebut. Korban lainnya adalah anak-anak yang ditinggalkan. Mereka akan tumbuh menjadi individu tanpa kehangatan dua sosok yang seharusnya menjadi pendamping, pembimbing dan teladan pertama dalam kehidupan mereka. Rasa aman dan kasih sayang tergantikan oleh kecemasan dan rasa kehilangan orang-orang yang disayang.

 

Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak korban perceraian lebih berisiko mengalami gangguan emosional, kesulitan untuk beradaptasi dalam lingkungan sosial, serta penurunan nilai prestasi akademik. Bahkan bukan tak mungkin mereka juga akan membawa luka batin itu hingga dewasa sehingga ia akan sulit mempercayai orang lain, takut untuk berkomitmen, parahnya lagi adalah ia akan mengulang pola hubungan yang rusak dalam rumah tangganya di kemudian hari.

 

 

Islam dan Jalan Ketahanan Keluarga

Islam menawarkan prinsip yang relevan dan aplikatif untuk membangun ketahanan keluarga. Hal paling utama adalah, di dalam Islam pernikahan merupakan ibadah, bukan sebuah kontrak sosial. Suami istri diikat oleh tanggung jawab kepada Ilahi untuk menjalankan hak dan kewajiban masing-masing. Tentu saja hubungan tersebut tidak kaku, semua itu dijalankan dengan mengedepankan prinsip suhbah (persahabatan) antara suami dan istri, bukan prinsip atasan bawahan.

 

Sistem pergaulan dalam Islam memiliki rambu-rambu yang jelas untuk menjaga hubungan laki-laki dan perempuan agar tetap dalam batas kehormatan. Sehingga interaksi di antara keduanya tidak mudah mengarah pada perselingkuhan atau pelanggaran moral seperti yang banyak terjadi belakangan ini.

 

Lebih dari itu, Islam juga sangat menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi bagi setiap individu. Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat berupa sandang, pangan dan papan. Termasuk menjamin kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Keluarga yang sejahtera secara perekonomian akan lebih kuat dalam menghadapi problem finansial yang melanda kehidupan rumah tangga.
Hal-hal di atas tentunya hanya bisa diterapkan dalam sebuah institusi negara Islam, Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah.

 

Penutup

Tingginya angka perceraian hari ini bukan hanya disebabkan oleh kegagalan individu semata. Ini adalah gambaran jelas bahwa ideologi sekuler kapitalis yang dijadikan kompas kehidupan telah gagal mempertahankan benteng keluarga anak bangsa.

 

Pertanyaannya adalah sampai kapan kita tetap bertahan dengan sistem yang gagal ini? Dan sampai kapan kita akan mengabaikan penerapan syariat Islam secara kaffah, padahal di sana ada solusi mendasar dan menyeluruh atas setiap problem keluarga yang terjadi.